Sabtu, 01 Februari 2014

9 Bulan


Merawat istri hamil itu seperti dipaksa menelan moncong pistol. Aku tahu kepalaku bakal pecah dan aku tak tahu kapan. Pampers, keranjang bayi, dan bola karet empat warna. Kami beli remeh-temeh itu hanya untuk melihatnya berdebu. ACE, Giant, Lotte Mart, dan Superindo. Kami gila belanja seperti Sosialita. Kami berbelanja tak bersebab. Padahal baru tiga hari sebelumnya istriku positif hamil. Aku lupa siapa yang harus aku rawat. 

Tidak terpikir olehku kalau memagari seorang ibu hamil lebih sulit dari pada menjaga diri sendiri. Kurang tidur dan pikiran terpecah menjadi hidangan rutin bersama istri. Bulan ke 6 kehamilan, kondisi psikis Dewi, istriku, semakin parah. Terus-terusan meracau soal bayi yang dikandungnya.

Maka aku angkut istriku ke Dokter Halim. Sebenarnya kami rutin dua minggu sekali ke Dokter muda ini untuk USG, tetapi karena aku sudah mual dengan imajinasi istriku, aku membawanya lebih sering ke sana. Kami masuk ke ruangan sakral Dokter Halim. Desisan AC yang diset maksimum tak mampu mengusir bau obat dan pengap yang menyengat. Gambar dan tabel reproduksi wanita bergelantungan mengawasiku. Female Genital Model terpancang di meja Dokter Halim. Alat peraga itu bisa dibongkar pasang sesuai keinginan dan imajinasi.

Saat aku akan bercuap, Dewi merepet saja, “Ini bukan anakku. Ini alien, ini reptil,” ucapnya berulang-ulang.. Seribu kali pula aku memberitahu, “Itu anakmu, Dew.” Tetap saja ekspresinya dingin. Bukit es antartika bonus longsor tak terduga.

Berdebat dengannya juga tidak ada ujung. Aku minta Dokter Halim memeriksa kandungannya dengan mesin USG. Setelah itu aku minta foto janin lembek itu. Aku tampakkan foto itu ke muka Dewi dan memintanya melotot. Justru malah dirinya yang meyakinkan kami, “Liat kan? Itu reptil. Ke mana mata kalian? Liat kaki-kakinya yang kayak gurita tuh.”

“Gurita itu bukan reptil,” bantahku.

Kami berdebat lagi. Debat panas. Uap air bertemu bara api. Dokter Halim ikut-ikutan terpancing dan menimbuk meja, “Hei! Bukan cuman kalian aja yang pasien. Banyak yang antri. Coba diam dulu.”

Dokter Halim menuliskan resep dengan tulisan cakar ayamnya. “Pak Adam,” ia menatapku presisi, “Istrimu butuh istirahat total.”

Aku enggan setuju karena itu memang tanggung jawabku. Tidak perlulah disuruh-suruh buat menjaga istri beristirahat maksimal tanpa gangguan. Aku mencium kebusukan. Dokter amatiran ini tidak percaya denganku. Ia pasti berpikir kalau aku yang membebani pikiran wanita hamil ini, “Gimana denganku? Apa aku juga butuh istirahat? Berikan solusi Dok!”

Dokter Halim tak acuh, ia tulis resep, kami ambil obat. Begitulah kunjungan rutin nan singkat itu. Di kunjungan berikutnya, Dokter Halim tidak mau risau mendengar perdebatan lagi. Ia lakukan prosedur seperti perintah Algortima. Identifikasi-periksa-tulis resep. Itu saja. Dia tidak peka, kami tidak hirau. Kombinasi mematikan.

Biarpun kandungan itu sehat, tetapi otak istriku semakin menggila. Ia duduk rapi di meja makan seperti anak SD yang baru dilatih table manner menatap TV flat screen dan jarang berkedip. Bahkan masakan favoritnya yang jauh-jauh aku beli, sayur asam bumbu terasi tidak menstimulasi tubuhnya.

Ia meracau lagi, “Adam sayang, beliin aku makanan.”

Aku meletakkan setengah piring nasi dan menyodorkan semangkuk sayur asam hangat itu, agar uap asam menyentuh inderanya, “Ini sudah aku beliin. Favorit kamu.” Tetap saja dia melongok.

“Aku mau tanduk kambing. Itulah yang mereka katakan.”

“Ya aloh Dewi! Nyebut kamu!”

“Beliinlah! Pliss!”

Siapa yang mau membelikannya tanduk kambing? Aku tidak akan membelikan tanduk apapun walau tanduk adalah makanan terakhir di dunia. Aku lelah dan gerah. Badan dan otakku ruai. Tak acuh saja. Kubiarkan dia semalaman, semau jidatnya termangu di meja makan. Aku tidur delapan jam. Paginya aku temukan dia tertidur pulas di sebelahku. Namun, tidak secuil makan malam pun yang aku sajikan itu ia sentuh. Dingin diserbu semut dan tikus angin.

Dua sisi hidup yang harus aku kenakan. Sisi keluarga dan sisi pekerjaan. Paralel. Saling mendukung. Tak boleh timpang. Senin sampai Jum’at, aku berangkat kerja. Menjadi Manajer Pemasaran memang lebih sulit dari Sales Executive. Jika Sales hanya menyampaikan kebohongan, maka akulah yang menjadi dalang kebohongan. Pria di balik senjata. Kami menjual minuman bersoda yang rasanya seperti air tajin dicampur larutan soda, ditambah perasa. Kebuntuan kreatifitas divisi pengembangan membuat kami harus memikirkan banyak cara agar produk sampah itu terjual.

Untungnya kami menjual satu botol plastik di bawah harga pasaran, jika Big Cola seharga 3000, maka kami jual seharga 2900. Untuk mengkatrol penjualan, kami menyebarkan banyak pamflet, stiker tembok hingga menyewa reklame. Gadis remaja berpose senakal mungkin sambil memegang botol produk kami yang bernama Glori Likuid atau GL, itulah pesan reklame kami.

Sukses. 

Produk murahan itu terjual. Aku bisa menafkahi istri malangku. Untuk merayakan keberhasilan penjualan produk payah itu, Bos Besar mengadakan pesta. Kami minum hingga fajar. Red Label, Black Label, Bacardi, Tequila, dan rekan-rekan. Dugem dan Karoke. Ditemani Pemandu Lagu berbusana Cosplay kelinci girang. Girang segirang-girangnya, mengobral apa saja hingga tidak ada lagi yang bisa diobral.  

Aku bergembira. Aku berduka. Ironis, pikiran terbagi. Bobi rekan kerjaku yang berbadan gempal itu menjadi tempat bercurhat. “Aku gak tau harus ngapain lagi,” ucapku dengan nafas wiski 35% alkohol.

Dalam tipu daya minuman keras, Bobi masih bisa menggunakan akal sehatnya, “Itu depresi pra melahirkan. Itu biasa. Istriku malah pengen minta terus pas dia hamil. Dia ngidam pengen threesome.”

Aku pun menyelingar, “Threesome? Dua cowok?”

“Dua cewek tapi aku tolak.”

Mataku melotot fantasiku melayang, “Weh, andai aku punya istri kayak kamu. Aku akui imajinasi istrimu jauh lebih kreatif daripada istriku.”

Aku pulang dalam keadaan mabuk berat. Disorientasi gravitasi. Istriku belum tidur. Ia duduk di ruang tengah memelototi TV HD 1080p kami. Romansa Kabel TV. Aku menyambanginya. Berbulan-bulan aku dan istriku tidak pernah berkumpul. Siapa yang tahan? Aku kecup pundaknya. Ia tidak bereaksi. Aku belai rambutnya. Ia malah berkata, “Kau reptil banci.”

Hasratku meleleh seketika. Sex Drive-ku padam. Kutinggal tidur lagi, delapan jam. Hari Sabtu besoknya, aku mengajaknya keluar rumah, mengesup udara segar di taman kota. Di antara pepohonan Akasia dan gemerisik daun kering yang berjatuhan. Klise Romansa.

Kami duduk di kursi kayu panjang di hadapan air mancur yang ditebari lotus berkuncup. Satu jam lebih cipratan air menyegarkan kami. Bertukar bungkam, menyimpan pandang. Dewi tidak berucap tutur. Aku merindukan suara indahnya yang natural. Bukan suara seperti iblis betina yang aku dengar sejak kehamilan bulan kedua.

Aku pun berbincang sendiri, berharap telinga merahnya mendengar, “Dew. Mungkin kamu udah banyak berubah sekarang. Tapi cinta aku ke kamu gak akan pernah berubah. Aku rindu suaramu, aku rindu pelukan hangat kamu, malah aku rindu pas kamu marahin aku pas pulang tengah malem.”

Dewi menoleh dan mengerling, “Adam,” aku sangat mengharapkan untaian kata-kata indah darinya, tapi, “Kamu udah beli tanduknya?”

Rekreasi amburadul. 

Aku memboyongnya pulang ke rumah. Akhir pekan aku telan mentah di rumah, merawat dan menyuapinya. Hari Senin aku mengenakan sisi yang lain. Pekerjaan yang memuakkan. Pria itu harus cari uang, wanita tugasnya ke salon, begitu kata perempuan tak bertanggung jawab.

Alih-alih bekerja, pikiranku malah tak lega. Tak henti memikirkan istrku. Aku keluar kantor, merokok Malboro Merah di pinggir jalan. Ibu hamil tengah berjalan kaki lewat di depanku, seketika itu juga aku bertanya, “Mbak, udah berapa bulan?”

Wanita itu melepaskan earphone Iphone lantas tersenyum, “Enam bulan dua minggu. Kenapa?”

“Apa Mbak kena yang namanya depresi pra melahirkan?”

“Enggak tuh. Baik-baik aja. Aku punya suami yang Siaga. Siap Antar Jaga. Jadi gak pernah ada masalah.”

Perkataan wanita muda itu seolah menggamparku. “Gini, istriku juga lagi hamil. Kondisi jiwanya mengkhawatirkan. Dia sering banget ngigau. Kayak halusinasi gitu.”

“Bawa ke Dokter dong Mas.”

“Udah.”

“Dokter Jiwa maksudnya. Psikiater.”

Sesuai saran ibu-ibu hamil dan Iphone-nya, aku angkut Dewi menemui Psikiater ternama. Bobi yang memberi alamat Dokter yang bernama Markus itu. Aku membeberkan segala hal yang kuderita ke dokter itu. Reaksinya tidak pernah aku harapkan.

“Dia dan bayinya butuh istirahat,” kata Dokter Markus yang uzur beruban tipis itu.

“Tapi Dok—“

“Maksud saya, istirahat total. Biarkan dia istirahat.”

Aku belum puas, “Apa ini karena obatnya? Dokter Halim yang amatiran itu pasti salah kasih obat,” Aku menampakkan kertas resep di meja. Dokter Markus melirik, tak berminat menyentuhnya, “Tidak ada yang salah dengan obatnya. Pulanglah, suruh istirahat istrimu.”

Konseling berakhir. Tidak ada solusi sama sekali. Apakah ini yang namanya konsultasi ke Psikiater? Kalau begitu namanya, harusnya aku sekolah Psikologi. Meraih S.Psi, buka praktek, menyuruh pasien pulang, dan digaji. Bukan berkutat dengan strategi pemasaran atau terpancing produk lawan. Psikater, otoritas syaraf.

Pada bulan ke delapan, aku sudah terbiasa dengan umpatan dan kicauan sintingnya. Siang itu ia berdiri di halaman rumah, tubuh luyunya nyaris terpanggang, aku harus merangkulnya masuk ke dalam rumah. Ia berkata, “Adam sayang, alien itu terus terusan nendang. Ia lagi komunikasi ama kapal induknya di langit.”

Aku terpancing karena ia tak bisa diam, terus-terusan berontak minta dibiarkan berdiri di halaman terbakar matahari siang. Aku menarik dan menyorong, memaksanya masuk. Aku mengeluarkan tenaga terlalu besar sehingga aku mendorongnya hingga ia terhempas mencium lantai. Excavators Caterpillar melibas Suzuki Splash.

Syukurlah ia tidak apa-apa. Demi Tuhan tidak ada kesengajaan. Aku tidak akan memaafkan diriku jika terjadi apa-apa dengan kandungannya.

Kentara. Air mata keluar dari mata kecilnya Dewi. Akan tetapi, tatapan matanya kosong, nihil realita, dan terus berbisik dengan nafas yang berat, “Kau sudah beli tanduknya?”

Aku tidak peduli dengan tanduk kambing atau rusa. Aku membawanya lagi ke Dokter Halim. Untunglah semuanya sehat. Namun, Dokter Halim malah mengancamku saat kami berpamitan, “Kamu bakal kena masalah kalau dia bisa keguguran.”

Sejak awal dia memang sudah tidak suka denganku, “Asal tau aja Dok. Aku cinta dia dan calon anakku. Gak akan aku biarin siapa aja yang bakal nyakitin dia dan si jabang bayi. Gak akan. Termasuk diri aku sendiri!”

Seminggu setelah insiden memalukkan itu, aku tidak ingat itu jam berapa, yang jelas tengah malam. Di kamar minim romantisme kami. Ranjang busa King Size.

Dewi terus berbisik, “Mereka datang, mereka datang. Alien...alien,” berkali-kali membuat aku terbangun menyelingar. Tubuhnya berkeringat hebat, matanya melotot menyala-nyala, tubuhnya kaku kejang-kejang. Entah kesurupan setan apa. Aku menyentuh dahinya. Suhu tubuhnya seperti teko mendidih.

“Dew? Ada apa?”

“Dia datang! Dia datang!” Pekik dan geliatan tubuhnya, menggoncang ranjang sampai berdecat-decit rusuh.

Tak boros pikir, aku bopong Dewi dan membawanya ke turun menuju garasi. Rumah sakit hanya lima belas menit. Perasaanku berperang dengan logika. Pikiranku meledak ke mana-mana. Aku tak ingin terjadi apa-apa dengannya dan calon anak kami.

Dengan sigap, gesit, dan cepat aku menuruni tangga sambil menahan rontaan. Lengan dan kaki kurusnya, menerjang liar tak karuan. Beban bertambah. Injakkanku luyu. Ia menjerit keras, dahak terseret-seret ditenggorokannya sampai menjeluak. Muntah lendir lengket. Jeritannya mengecam pelosok interior rumah.

Anak tangga kayu Oak telah dituruni semua, tubuhnya berhenti berontak. Degupan benda berat jatuh menghantam lantai. Berdecak-decak becek, terseret di permukaan keramik. Gelap, tak kentara. Benda kecil itu keluar dari selangkangan dan daster istriku. Aku meletakan tubuh Dewi di lantai dan mengambil benda itu. Itulah bayiku. Tidak ada tangisan. Aku mengendong makhluk mungil buah hatiku.  

Tidak ada perasaan lain yang timbul selain ledakan ketakutan, “Mahluk apa ini?” tak bisa dipercaya. Yang selama ini dikatakan istriku semuanya benar. Tak ada yang luput. Aku melemparkan mahluk itu ke lantai. Makhluk itu berkepala oval, berkulit abu-abu dan memiliki banyak kaki, tubuhnya dipenuhi cairan hijau yang lengket. Menggelepar-gelepar, dua mata hitamnya menatapku. Sangat mengancam.

“Al..alien??”

Dengan kaki-kakinya, makhluk itu merayap mendekati tubuh Dewi. Aku tak akan membiarkan kaki-kakinya menyentuh kulit istriku. Kulepaskan injakan keras ke makhluk itu berkali-kali. Terjangan menghempas daging dan tulang. Decak-decak berair. Cairan hijau muncrat ke kaki-kakiku. Alien itu benyek kocar-kacir. Isi perut memburai, menyebarkan bau angit. Makhluk itu tak bergerak kepalanya bonyok. Tanganku gemetar, aku kesulitan mengatur nafas. Visiku menyala disemprot Adrenalin.

Dewi telah bangkit, menancapkan benda tajam dari belakang, menyasar perutku. Aku menjerit liar, benda itu tertancap menembus daging. Menohok bawah rusuk. Bergesekan dengan tulang rusuk. Tulang rusuk terserut jadi serpihan tercampur darah.

Dewi berteriak gelagapan, “Rasain tanduk kambing itu! Udah aku beli!”

Aku berbalik, Dewi menatapku dengan wajah iblisnya, pupil matanya memerah, ia berteriak-teriak lagi, “Itu anakmu, Adam!!”

Dewi mencengkram leherku. Kuku-kuku kuteknya tajam menyerut kulit leher. Cekikan itu begitu kuatnya, nafasku mulai habis. Dengan sisa tenaga dan nafas, kulayangkan pukulan ke wajahnya. Cengkraman itu terlepas. Tak mempan, ia kembali menyerang.

Aku mendahului gerakannya, kurentak punggungnya ke tembok. Kepalanya menubruk siku tembok, berdegup menghantam jidatnya. Tubuhnya ambruk, tak bergerak. Terkulai luyu tak bernafas. Dia meninggal. Aku membunuhnya. Aku menarik benda keras itu dari perutku, tergeret menggesek rusuk. Benar itu memang sebuah tanduk. Tanduk kambing.

Mereka bilang kalau akulah yang membeli dan menyuruh istriku menyimpan tanduk itu. Tidak masuk akal sehat.

Sembilan bulan didiagnosa mengalami gangguan jiwa, akhirnya aku keluar dari rumah sakit mental itu. Jauh-jauh hari tidak ada yang salah di syaraf kepalaku. Aku mendegar dan melihat apa yang seharusnya aku dengar dan lihat. Dokter bilang aku mengalami Skizofrenia Paranoid. Halusinasi. Dokter Halim adalah saksinya. Ia bilang kalau aku menenggak semua pil Diphenhydramine yang harusnya diberikan ke istriku. Pil penenang ini diberikan ke Dewi karena ia tak bisa tenang dan tahan karena kebiasaanku yang sering pulang malam dalam keadaan mabuk.  Dugem dan Pemandu Lagu. Threesome dan Sex Drive.

Aku bahkan memanipulasi cek rutin USG dari dua minggu sekali menjadi dua kali seminggu agar aku bisa terus mendapatkan resep obat itu lagi. Aku tidak tahan karena tekanan pekerjaan dan beban, bakal menjadi seorang Ayah. Lebih jauh lagi, aku tidak yakin kalau itu memang anak biologisku. Aku memang belum siap jadi seorang Ayah. Maka, dosis yang aku telan pun bertambah. Efek samping halusinasi pun tak terelakkan. Aku melihat Alien. Dewi melihat janin.


Aku melangkau tenang keluar gerbang rumah sakit. Berdiri di pinggir aspal hangat berdebu. Sembilan bulan di sel isolasi berbusana staright jacket. Akhirnya bebas mengesup udara hangat. Aku menatap langit cerah tak bertutup awan, melontarkan senyum yang paling riang.

“Jadi kapan kalian bakal turun ke bumi lagi?”  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar