Mereka bilang satu orang bisa merubah dunia. Aku tidak pernah
percaya. Manusia itu makhluk sosial, kita butuh manusia lain. Aku benci
pendapat itu hingga aku berteman dengan Firman.
Tidak ada yang dipikirkan Firman kecuali musik, musik, dan bir Carlsberg. Ia selalu menyemprotku dengan filosofi musik rock dan band-band klasik seperti Bad Company, Alice Cooper, terutama The Who.
“Gak ada aliran sehebat, seawet, sepopuler, dan sekeras rock,” ucapanya sambil menyesap Malboro. Aku adalah teman terbaiknya tapi kelakuannya kadang mengalahkanku. Setiap hari aku harus menjemput pria kurus ini ke kampus. Bukan hanya menjemput, tetapi juga menunggu dia berdandan ala rocker. Kaos Led Zepelin, Jeans ketat yang sobek di sana-sini, kalung tengkorak hingga gelang berat yang bertanduk-tanduk lancip.
Ia teman pertamaku di kampus ini dan ia adalah rocker ambisius. Dengan ambisinya, Firman membentuk sebuah grup band, yang bernama "popstar". Nama bandnya agak menggelitik, namun cerdas.
“Kok popstar sih?,” tanyaku.
"Karena pop lebih populer ketimbang rock," jawabnya santai.
Popstar sering naik panggung pada beberapa kegiatan kampus. Aku akui kualitasnya sebagai vokalis sangat sepadan dengan bentuk tubuhnya, tinggi. Suaranya yang melengking, menari-nari diatas oktaf yang tinggi.
Sangat disayangkan, personel lainnya tidak mendukung peforma Firman. Terkadang sang gitaris, suka memainkan dan menyispkan melodi fals dan yang terakhir aku dengar sang gitaris dipecat oleh Ahmad Dhaninya band ini.
“Theo gak salah,” katanya saat selesai manggung pada kegiatan mahasiswa baru. Tubuhnya berkeringat hebat.
“Tapi tadi terlalu salah,” hawa panasnya keluar semabari menikmati sekaleng bir.
Ia memecat Theo hanya beberapa menit setelah manggung. Aku lihat sendiri proses pengusiran itu, dia hanya berkata, “Cobalah kenalin posisimu dalam band ini ke penonton, mereka pasti bingung. Besok-besok ya aku kenalin ke penonton".
Theo tahu sewaktu-waktu Firman akan memcatnya, "Gua nge-band ama dia lagi?, masih enak gua ngamen," ucapnya enteng.
Firman seringkali curhat kepadaku tentang masalah bandnya kepadaku. Saking seringnya, aku selalu mendapat pertanyaan yang sama, “Apa ya yang salah ma gua?” Pertanyaan itu selalu dilayangkannya kepadaku jika bandya bermain ngawur.
Mungkin cara berpakaianmu, ucapku dalam hati, “Cuma lu yang tahu,” jawabanku membuatnya mengalihkan pandangan, ia terlihat tidak puas denganku.
“Apa yang terbaik, yang bisa gue lakuin sama band ini?, band ini gak bisa maju kalau tanpa gue!,” bentaknya sambil meninju pahanya.
“Mungkin lu harus ngejalani hidup kayak musisi rock. Coba hidup kayak mereka.” Saranku ini seperti membelokan setir mobil dengan tiba-tiba. Merubah dirnya dan hidupnya.
Hingga suatu hari, setahun setelah insiden pemecatan terhadap Theo. Kampus kami kembali mengadakan acara welcome party untuk mahasiswa baru. Acara yang paling dinanti adalah Band Peformance. Panggung megah didirikan di pelataran kampus. Puluhan mahasiswa telah berjajar seperti kerumunan riuh konser band besar. Aku berdiri di tengah-tengah kerumunan itu, sambil terus mengingat Firman.
Sang MC membuka acara itu, “Terima kasih kepada panitia, temen temen yang menyaksikan acara ini, selamat datang kepada mahasiswa baru. Sebelumnya kami berterimakasih sebesar-besarnya kepada seorang yang telah memberikan inspirasinya hingga akhir hayatnya, Firman. Semoga almarhum diterima disisinya."
Tempo pelan dan nada masuk. Lagu ciptaan kami, Rocker Pemula telah dimulai. Firman membuat lagu ini sebelum dia overdosis heroin. Sebagai rocker pemula, ia benar-benar menginspirasi.
Tidak ada yang dipikirkan Firman kecuali musik, musik, dan bir Carlsberg. Ia selalu menyemprotku dengan filosofi musik rock dan band-band klasik seperti Bad Company, Alice Cooper, terutama The Who.
“Gak ada aliran sehebat, seawet, sepopuler, dan sekeras rock,” ucapanya sambil menyesap Malboro. Aku adalah teman terbaiknya tapi kelakuannya kadang mengalahkanku. Setiap hari aku harus menjemput pria kurus ini ke kampus. Bukan hanya menjemput, tetapi juga menunggu dia berdandan ala rocker. Kaos Led Zepelin, Jeans ketat yang sobek di sana-sini, kalung tengkorak hingga gelang berat yang bertanduk-tanduk lancip.
Ia teman pertamaku di kampus ini dan ia adalah rocker ambisius. Dengan ambisinya, Firman membentuk sebuah grup band, yang bernama "popstar". Nama bandnya agak menggelitik, namun cerdas.
“Kok popstar sih?,” tanyaku.
"Karena pop lebih populer ketimbang rock," jawabnya santai.
Popstar sering naik panggung pada beberapa kegiatan kampus. Aku akui kualitasnya sebagai vokalis sangat sepadan dengan bentuk tubuhnya, tinggi. Suaranya yang melengking, menari-nari diatas oktaf yang tinggi.
Sangat disayangkan, personel lainnya tidak mendukung peforma Firman. Terkadang sang gitaris, suka memainkan dan menyispkan melodi fals dan yang terakhir aku dengar sang gitaris dipecat oleh Ahmad Dhaninya band ini.
“Theo gak salah,” katanya saat selesai manggung pada kegiatan mahasiswa baru. Tubuhnya berkeringat hebat.
“Tapi tadi terlalu salah,” hawa panasnya keluar semabari menikmati sekaleng bir.
Ia memecat Theo hanya beberapa menit setelah manggung. Aku lihat sendiri proses pengusiran itu, dia hanya berkata, “Cobalah kenalin posisimu dalam band ini ke penonton, mereka pasti bingung. Besok-besok ya aku kenalin ke penonton".
Theo tahu sewaktu-waktu Firman akan memcatnya, "Gua nge-band ama dia lagi?, masih enak gua ngamen," ucapnya enteng.
Firman seringkali curhat kepadaku tentang masalah bandnya kepadaku. Saking seringnya, aku selalu mendapat pertanyaan yang sama, “Apa ya yang salah ma gua?” Pertanyaan itu selalu dilayangkannya kepadaku jika bandya bermain ngawur.
Mungkin cara berpakaianmu, ucapku dalam hati, “Cuma lu yang tahu,” jawabanku membuatnya mengalihkan pandangan, ia terlihat tidak puas denganku.
“Apa yang terbaik, yang bisa gue lakuin sama band ini?, band ini gak bisa maju kalau tanpa gue!,” bentaknya sambil meninju pahanya.
“Mungkin lu harus ngejalani hidup kayak musisi rock. Coba hidup kayak mereka.” Saranku ini seperti membelokan setir mobil dengan tiba-tiba. Merubah dirnya dan hidupnya.
Hingga suatu hari, setahun setelah insiden pemecatan terhadap Theo. Kampus kami kembali mengadakan acara welcome party untuk mahasiswa baru. Acara yang paling dinanti adalah Band Peformance. Panggung megah didirikan di pelataran kampus. Puluhan mahasiswa telah berjajar seperti kerumunan riuh konser band besar. Aku berdiri di tengah-tengah kerumunan itu, sambil terus mengingat Firman.
Sang MC membuka acara itu, “Terima kasih kepada panitia, temen temen yang menyaksikan acara ini, selamat datang kepada mahasiswa baru. Sebelumnya kami berterimakasih sebesar-besarnya kepada seorang yang telah memberikan inspirasinya hingga akhir hayatnya, Firman. Semoga almarhum diterima disisinya."
Tempo pelan dan nada masuk. Lagu ciptaan kami, Rocker Pemula telah dimulai. Firman membuat lagu ini sebelum dia overdosis heroin. Sebagai rocker pemula, ia benar-benar menginspirasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar