Senin, 03 Februari 2014

Mia


Match Made in Heaven, salah. Match Made in Bullshit. Lebih cocok menjelaskan kemauanku. Tidak ada itu istilahnya cinta tak harus memiliki. Cinta harus memiliki. Mutlak tak terbantahkan. Aku cinta orang tuaku sendiri dan aku harus memiliki mereka. 

Trans Backpack Aquamarine JanSport, 260.000 Rupiah. Cinta pada pandangan pertama. Sleeping Beauty. Haruskah menyumbangkannya ke Panti Asuhan?

Katch Slip On Trainers Darkslategray, 1.360.000 Rupiah. Dibuat untuk telapak kakiku. Cinderella. Haruskah membuangnya di box sampah non-organik?

Bagaimana pun caranya, aku harus memiliki cinta itu. Apa aku egois? Not really.

Gadis populer di SMA. Mata-mata menguntit jangkahan kakiku. Cowok dan cewek. Aku bisa memilih dengan mudah pacar yang aku sukai dan aku tahu banyak anak cewek yang iri padaku. Setiap aku melangkahkan kaki di koridor kelas, cowok-cowok berjajar duduk di teras kelas memasang senyum terbaik mereka,

“Pagi Mia.”

Seakan aku peduli.

Sementara anak cewek memandangiku sinis. Hostile face. Seolah-olah. Seakan aku ini public enemy.

Kenapa mata-mata sekolah ini memindaiku seolah aku ini Ratu Tebar Pesona. Sensasional. Salahkan orang tuaku kenapa aku diberi wajah dan tubuh seperti ini. Cosmopolitan, GoGirl!, dan teenminutes, salahkan mereka juga. Tidak ada keinginan bagiku menjadi populer. Aku menjalani apa yang harus gadis SMA kebanyakan lakukan. Menjadi diri sendiri. Stay true to yourself!

Semua tampak sempurna? Tidak. Apa aku bahagia? Tidak. Aku punya pacar. Nama pendeknya Pay. Tubuhnya menjulang dengan senyum ciamik Zac Efron. Half-Shaved Edgy Punk dan Macbeth Brighton. Aku sudah bersamanya selama empat bulan, aku hanya tahu style-nya bukan isi batinnya.

Who’s this pretty guy? I’m not that sure.

Kami berdua sering disebut pasangan serasi. Ia tampan dan aku cantik. Robert Pattinson dan Kristen Stewart. Brad Pitt dan Angelina Jolie. Humphrey Bogart and Lauren Bacall. 

Pulang sekolah, Pay dan Kawasaki Ninja-nya menyapaku. Knalpot motornya berderu derung menyingkirkan dedebuan menyambutku. Tidak ada senyum dan tegur-sapa dari Pay. Tak ada pula basa-basi. Hanya CO2. Aku berayun, duduk begitu saja di belakang punggungnya yang berkeringat sembari menarik ujung rokku ke bawah dengkul.

“Hei,” sapaku.

Ia tak menjawab. Ia malah sibuk cuap-cuap dengan teman eskul basketnya. Aku menyapanya untuk ketiga kali, kuping Pay baru merespon, “Oh hei Beb. Ada apa?”

“Kamu tuh dengerin aku gak?”

“Iyalah.”

“Maksud aku selama ini. Kamu tuh peduli gak sama aku?”

“Ya peduli lah.”

 Selalu jawaban yang sama. Mulutnya berbanding terbalik dengan sikap dan jadwal perhatiannya untukku. Perasaan ini. My deepest fragile heart. Entah bertahan berapa lama solidnya. Dia tampan, pria paling tampan yang pernah aku lihat. Dia baik, dia bahkan memberikan aku satu bundle edisi terbatas foto-foto boy band favoritku, Super Junior, sebagai kado ulang tahun ke 16. Ayah hanya memberi kursus mengemudi gratis, fungsional. Ibu menghadiahi Six-Layer Dark Chocolate Cake, emosional.

Teringat pepatah klasik: cinta tak dapat dibeli dengan materi. You can’t buy moon, you just love it. Aku adalah gadis yang menjalani hidup yang tak seharusnya kujalani dengan Pay.

“Elo cinta gak ma dia?,” kata Linda sahabat baikku sejak kelas sepuluh.

“Gak tau Lin. So complicated. Gue bingung.”

Linda memberikan tatapan murungnya seolah aku ini anak kucing Tabby yang terlantar di pinggir jalan, “Bingung? Lu mesti bersikap. Banyak cowok laen yang suka ma elo.”

“Maksud lo?”

“Ya putusin dia lah, Mia. Mo gimana coba?”

Menarik. Aku tidak bahagia dan aku sangsi apa aku benar-benar mencintai Pay. Namun, Pay menjanjikan kenyamanan dan kestabilan. Aku tidak tahu apa aku akan mendapatkan sosok seperti Pay lagi, “Gue bingung. Pay itu baek, baek banget orangnya.”

“Tapi dia gak merhatiin lo.”

“Iya, dia gak peduli ma gue tapi Lin—“

“Yaelah. Trus napa lo harus sama cowok yang lebih peduli ma basket daripada ma pacarnya sendiri? That’s stupid.”

Linda benar dan entah apa yang telah aku pikirkan. Aku mendapatkan sesuatu yang tidak aku dapatkan dari Pay yang justru aku dapatkan dari teman satu kelasku, Reza. Pria cupu berkacamata. Nerdy guy. Teror. Belah pinggir dan Fantofel punya Bapaknya.  

Semenjak kesenjangan perasaanku dengan Pay. Pria inilah yang mengisi cerita dalam hari-hariku yang so freaking bored. Awal aku satu kelas dengan Reza, ia sedikit menakutiku. Ia tak pernah melepaskan tatapannya dariku kalau aku melangkah melaluinya. Entah apa arti tatapan itu. Itu tatapan atau imajinasinya. Akan tetapi, Reza adalah siswa yang cerdas berprestasi. Ia selalu ranking satu di kelas dan ranking umum di sekolah. Hands down. Aku akui kalau aku tidak secerdas dirinya.

Kepintaraannya bisa dimanfaatkan. Aku adalah kupu-kupu Bunga Matahari. Ayah dan Ibu tak cuti mengoceh soal rapotku yang menyedihkan itu. Sedikit banyak hubunganku dengan Pay merusak fokus belajar. Aku adalah kupu-kupu Bunga Matahari. Datang dan pergi, menghisap nektar yang bernama ilmu.

Semasa rehat kelas, aku iseng bertanya pada Reza, “Za, kamu pinter banget. Rahasianya apa?”

Jelas ia sumingrah ketika aku yang bertanya, “Oh gak ada Mi. Aku orangnya gampang penasaran. Cuman belajar aja. Itu ajak kok.”

“Oh gitu.”

“Kenapa emang?”

“Gak, nanya doang. Is it wrong?” Aku pun berlalu tak perlu memperpanjang omongan.

Justru berawal dari sanalah kami semakin dekat. Dia mengajariku banyak hal soal Biologi dan Sejarah, dua mata pelajaran non-favoritku. Hafalan adalah Kotak Pandora-ku yang tak berkunci. Selama ini pun juga, aku salah menilai penampilannya. Ia sangat terbuka, menyenangkan dan perhatian. Ya, dia sangat perhatian kepadaku. Taxidermy Framed Butterfly.

Berminggu lamanya aku mengenal Reza. Apapun itu, kami menghabiskan waktu rehat kelas dengan mengacak laptop Macbook Pro-nya, mendengarkan Taylor Swift dan Sigur Ros, bersenandung bersama. Bahkan aku sering mengajaknya ke bioskop menonton film Drama yang mana Pay tidak pernah mau menonton film bergenre melankolis seperti itu. Pay tak adaptif, di lebih suka Super Car Lamborghini Aventador daripada Cinematografi cerahnya cinta.  

Dengan berjalannya waktu, aku semakin terbuka dengan Reza, banyak bercurhat soal pribadi dan privasi.

“Gue ma Pay.”

Reza sudah tahu kalau aku pacaran dengan Pay, aku benar-benar terbuka dengannya. “Gue punya banyak masalah ma dia.”

“Masalah apa? Gua liat kalian baek baek aja tuh.”

“Keliatannya aja, Za. Kayaknya dia lebih seneng nongkrong ma temennya daripada ma gue. Malah gua ma lo lebih sering jalan bareng ketimbang gue ma Pay.”

Oh Reza, perasaan sudah mencemari kalimat yang kuucapkan itu. Dia menanggapi berlebihan, “Harusnya kamu milih.”

“Milih apa maksudnya?”

“Milih Pay apa gua?”

He just doesn’t get it. Dari awal memang aku tidak pernah menginginkan yang lebih dari dia. Aku adalah kupu-kupu Bunga Matahari. Datang dan pergi.

“Gak gitu Za. Gua tuh gak mau...,” kata-kata tersekat, aku tergabas menelan ludah dan berkata lagi, “Kamu itu temen yang baik.”

“Temen?”

“Iya. Gue gak pernah punya temen cowok sebaek kamu.”

Friend-zoned. Reza menelan mentah kalimat itu, lantas melangkah pergi meninggalkanku. Aku hening, tertunduk memerhatikan Hide & Go Chic Nail Art-ku. Aku hanya jujur pada diri sendiri. Reza hanyalah peralihanku dari kenyataan pahit. Reza memberikan segalanya buatku. Aku hanya memanfaatkan kebaikannya. Makhluk apa aku ini? I should be ashamed of myself!

“Ya, Reza bilang ke gue kayak gitu,” ucapku ke Linda saat di kantin sembari menikmati semangkuk bakso.

Linda tergelak tak bisa menahan seringai tawanya, “Reza si cupu itu? Yang bener aja lo.”

“Urghhh ... don’t say that! Penampilannya gituh! Tapi kalo lo udah kenal dia, dia tuh baek banget Lin.”

“Baekan dia pa Pay?”

Aku menyesap es jeruk yang lebih asam dari aromanya itu, “Gak tau.”

“Widih ... Trus lo ma Pay gimana?”

“Gak tau.”

“Lah elo, gak tau mulu. Pulang ini pas dia eskul basket, lo tanyain dia. Cinta gak dia ma elo. Tanyain keras-keras biar diliat temen-temennya, biar lo bisa dapetin jawaban jujurnya. Jawaban Panik.”

“Gak ah. Dia tuh pemalu Lin.”

“Justru itu.”

Dengan saran sahabatku itu, sepulang sekolah aku menyambangi lapangan basket. Anak-anak cowok tengah berjibaku berebutan bola bergantian memasukan ke jaring. Mereka terlihat seksi saat berkeringat. Decitan sepatu kets dan pantulan berat bola menganga ke udara siang yang terik. Aku melenggang tegas ke pinggir lapangan dan berteriak.

“Pay!”

Ia meliahtku seklias, melengos, dan menggiring bola lagi. Bunga di Tepi Jalan. Mengamati, tak Diamati.

“Pay! Ihhh kamu!”

Aku justru merusak fokusnya, ia kehilangan bola dan menatapku dongkol, “Apa sih kamu?”

“Ke sini bentar.”

“Gua lagi maen. Liat gak?”

Pay tak acuh, lantas bermain lagi. Dia memberiku cold shoulder. Aku tak terima itu, menyamakan diriku seperti seonggok pasir atau apalah istilahnya. Aku masuk ke lapangan menarik kaos olahraganya yang basah. Ia menoleh dan melotot, “Apa sih?!”

Teman-temannya terhenti karena gangguanku.

“Kamu cinta gak ma aku?”

Teman-teman Pay memandangi Pay dengan tawa riuh, menyorakki dengan umpatan-umpatan memalukan bernada sarkasme.

Pay mengambil bola dan memantul-mantulkannya, “Gua lagi maen. Tar aja,” ia mengelap keringat dengan lengan kaosnya. “Lanjut bro!”

Jeritan tak tertampung lagi. “Pay! Kamu cinta gak ma aku?!”

Pay mendekat seraya mengatur nafas, menarik kerah kaosnya ke belakang dan menatapku bengar, “Enggak,” ia melempar bola ke wajahku, dengan refleks aku menghalau, menepis bola berat itu.

“Brengsek kamu!”

Fuck it! Air mata sebisa mungkin aku tahan. Aku tak ingin Pay melihatku sebagai wanita lemah nan rapuh yang bisa ia permainkan dengan logika maskulinnya. My deepest fragile heart. Perbuatan Pay itu membuatku mengulangi apa yang sebelumnya aku lakukan. Aku kupu-kupu Bunga Matahari.

Aku datang dan pergi. Tanpa banyak cincong, aku Bbm Reza, mengajaknya bertemu. Kami pun bertukar wajah lagi di sebuah taman bergaya urban dinamis di komplek perumahan Basilica dimana aku tinggal. Aku curahkan segalanya yang aku alami hari ini. Mengalir, ibarat rejangan air tak berujung. Seperti biasa, Reza mau mendengarkan dan mendengarkan. Ia tidak hanya memiliki kedua telinga yang aktif, tetapi juga ia memiliki telinga batin yang bisa mendegarkan perasaanku.

“Udahlah Mi. Gak usah nangis,” bisiknya, “Kita nonton Winter Sonata aja. Udah episode berapa kemarin?”

Aku tersenyum mendengar itu, mataku yang berkaca berganti jadi binaran.

“Episode 5.”

Berdua, kami menonton serial favoritku itu di MacBook Pro-nya. Menit terasa berjalan lambat, langit sore yang merah mengalungi kami dengan cahaya hangatnya yang lembut. Aku selalu merasa istimewa saat menyandarkan kepalaku di pundaknya. He knows how to handle a fragile thing, seperti Baggage Handler.

***

Upacara bendera hari Senin adalah saat-saat terburuk di SMA. Harus bangun pagi, menyiapkan kelengkapan seragam, berbaris, mendegar ceramah dan bernyanyi. Namun, Senin pagi cerah ini serasa berbeda. Aku selalu melemparkan senyum saat Reza menatapku. Aku tidak bisa menafikan keistimewaan itu.

Obviously, aku berdiri di tengah barisan perempuan. Di sebelahku, Linda mengenali raut riangku, “Aduh, ada apa nih?”

Kami pun mengobrol sambil terus menjaga volume suara. Girl Talk.

“Ada deh,” jawabku genit.

“Senyam senyum lo.”

“Gue jatuh cinta.”

Linda tak bereaksi, “Pay?”

“Reza.”

Mata kecil Linda melotot, dahinya mengerut, alisnya menukik. “Lo udah gila? Lo dah putus ma Pay?”

“Belon.”

“Lah terus?”

“Udah ah Lin. Biarin temen kamu nih seneng dikit napa?”

“Bukan gitu—“

OMFG. Siswi di depanku tumbang. Punggungnya roboh mendorongku. Doyong dan luyu. Aku menahan punggung dan merangkul perut gadis ramping itu. Suasana barisan menjadi riuh, pengucapan Janji Pelajar mendadak terhenti. Siswa-siswi yang berbaris mengalihkan pandangannya ke kami.

“Tolong,” pekikku.

Seorang anak PMR cewek yang berjaga, menyerbuku dari belakang barisan. Ia mengangkat kaki siswi pingsan itu, “Mia kan?” kata anak PMR itu.

“Siapa?” kataku.

“Kamu, nama kamu.”

“Iya, Mia.”

“Bantu aku bawa temen kamu ini ke UKS. Kami kurang orang, cuman aku yang jaga hari ini.”

Tak aku tolak permintaan itu. Aku bopong bagian perut siswi itu sementara anak PMR itu mengangkat kaki. Kami membawa siswi itu menuju belakang barisan dan melangkah berat menuju UKS.

Tergabas-gabas, kami akhirnya sampai. Anak PMR itu mendorong pintu UKS dengan bahunya, “Waduh...”

Aku melontarkan tatapan ke dalam UKS yang beraroma minyak kayu putih. Tidak mungkin bagi kami untuk membaringkan temanku ini di sana. Dua ranjang bertingkat itu penuh oleh Siswi yang tampak lemas berbaring dan tampak lunglai, berpura-pura sakit. What a faker...

“Yaudah, bawa ke kelas aja,” ujarku.

Anak PMR itu setuju membawa siswi itu ke kelasku. 12 IPA 1. Kami menapakki lantai keramik yang licin, karet tapak sepatuku berdecit-decit menggesek, menggeret lantai. Siswi yang aku bawa ini lebih berat dari kelihatannya dan semakin berat saat tenagaku mulai musnah. Keringat yang tak aku dapatkan dari senam SKJ setiap Jum’at pagi.

Kami tiba di muka pintu 12 IPA 1. Giliranku mendorong pintu dengan punggung. Kami membaringkannya di atas dua bangku yang dirapatkan. Aku langsung terduduk, kaki-kakiku ruai. Anak PMR itu pamit sebentar, “Mia, kamu jagain dia bentar ya. Aku mo ambil minyak kayu putih dulu.”

That’s perfect. Konyolnya, aku pun menyanggupi. Paling tidak aku tak harus mendengarkan petuah Kepala Sekolah yang narsis. Aku menuju bangkuku untuk mengistirahatkan kaki yang lemas. Aroma Dolce & Gabbana Light Blue berubah menjadi keringat gerah. Kipas AC suhu rendah kalah bersaing.  

Aku meraih bangkuku dan menemukan sesuatu di atas meja, secuil kertas ditindih buku Sejarahku, ujung kertas itu digambar hati. Aku mencomot kertas yang terlipat itu dan membaca isinya. Senyum terkembang alami.

Pulang sekolah jalan yuk –Reza

Tak banyak waktu terbuang, aku langsung balas surat itu dibaliknya. Aku mengangguk-angguk sambil memeriksa lagi kata per kata tulisanku itu hingga aku pastikan tidak ada ejaan yang salah. Menghindari salah persepsi, salah interpretasi, salah imajinasi.

Aku pun menuju bangku Reza di urutan terdepan. Menaruh kertas itu di atas meja, tetapi aku ragu kertas ini akan melayang. Aku memeriksa kolong meja Reza dan mengambil buku kecil di sana.

Saat mengambilnya aku tersentak karena buku kecil itu adalah Diary-nya Reza. The Biggest Secret berada di genggamanku. Aku melempar tatap ke luar kelas. Hening. Jemariku terasa membantah, pertanyaan muncul. Apa reaksiku bila orang asing diam-diam membaca catatan harianku? Aku hilang kendali. Aku adalah Bunga di Tepi Jalan. Mengamati, tak diamati.

Aku membuka Diary itu. Halaman pertama. Profilnya Reza. Aku sudah tahu semua. Tinggi hingga motivasi.

Aku membaliknya lagi. Suasana riuh redup dari kejauhan, menggema ke pelosok koridor-koridor kelas. Aku kembali menatap isi Diary itu. Tulisan dan tulisan. Jepang dan Jepang. Saat melihat halaman yang berjudul ‘MIA’ itu, perasaanku menyelingar. Mataku menyala nanar, jemariku terkunci getar. Aku benar-benar tidak tahu apa yang akan melompat dari balik halaman itu.

Really?

Riuh kerumunan siswa semakin mendekat, waktu terus menipis. Aku membalik halaman, nafasku tersekat, wajahku memucat, hilir mata tertikam dalam. Halaman itu kubalik dan kubalik. Aku tidak tahu apa yang ada di kepalanya Reza.

This is sick!

Tersusun rapi foto-fotoku. Foto-foto itu diambil diam-diam. Candid melangkahi privasi. Creeper! Foto dari Mading, hanya fotoku yang ia ambil dan gunting. Yang paling parah, ia memanipulasi fotonya dengan Photoshop seolah ia sedang memeluk diriku. Yang sangat menjijikan, ia berkreasi, berimajinasi seolah aku rela diciumnya. Baggage Handler adalah Thrower.

Gue tuh selama ini percaya ma lo!

Halaman-halaman kurobek-robek asal, melempar Diary-nya ke lantai, dan menginjak-injak benda najis itu sampai remuk bubuk. Aku berlari keluar kelas. Anak-anak telah meramaikan koridor menuju kelasnya masing-masing. Tubuh rampingku melangkah cepat melawati mereka, menyusupkan badanku. Hingga aku menubruk seseorang.

“Mia, ada apa?” kata Siswa itu sambil memegang pundakku.

Wajah itu menakutiku. Reza. Aku meronta melepaskan rangkulan najisnya, “Aku benci, benci, benci banget ma kamu!” pekikku sekerasnya.

Aku merentak keras bahu lengan Reza, menyingkirkan jalanku. Rautnya terkencar, aku tak acuh. Aku kembali berlari menapakkan injakanku yang berat diiringi riuh siswa-siswi yang bercengkrama di sepanjang koridor kelas.

12 IPS 1. Aku sampai di tujuan. Pay duduk di bangku panjang teras kelas. Aku menatapnya sendu. Aku adalah Bunga di Tepi Jalan. Mengemis minta diamati.

Pay tidak memancarkan reaksi. Ia berdiri dan memelukku, mengusap-usap pundakku, “Ada apa Yang?”

Bibirku bergetar, tangis yang aku tahan darinya, akhirnya aku keluarkan lagi untuknya. Aku tidak ahli dalam menyembunyikan perasaan. Aku tahu aku sudah membuat kesalahan besar dan makin besar lagi, “Re..Reza.”

“Reza? Kenapa dia?”

“Dia ganggu aku.”

“Reza si cupu itu? Ganggu kayak gimana maksud kamu?”

Dengan erangan, aku ceritakan semua yang aku lihat di Diary-nya Reza. Pay memundurkan badan. “Gua hajar tuh cupu.”

Aku menarik, menahan lengan seragamnya, “Pay, jangan sakitin dia. Dia tuh baek.”

Pay bengar, melotot geram meninggalkan aku. Ia melangkau tegap mencari-cari Reza. Aku tak akan membiarkan ini. Ini adalah kesalahanku. Aku tidak boleh mengorbankan seseorang karena keegoisanku. Aku berlari mengejar Pay. Berharap tidak muncul hal yang lebih brutal lagi. Aku melonjak, mengejar Pay.

Seragam Pay berhasil aku raih. Aku menarik dan menjerit menghentikannya. Siswa-siswi di sepanjang koridor itu memandangi kami, termasuk siswa-siswi yang di koridor seberang yang dipisah taman. Namun, tarikanku tidak memandekkan langkah Pay yang perkasa. Semua sudah terlambat. Aku melangkah luyu mengekor Pay, memandangi punggung kekarnya.

Pay masuk ke kelas sejenak, ia menarik-narik kerah seragam Reza dan mendorongnya keluar kelas. Reza jatuh terhempas menghantam lantai, menyedot debu. Reza memegangi Diary itu, Pay berusaha merebutnya. “Mana?! Gue mau liat!”

Sekeras Pay, Reza tak mau menyerahkan buku itu. Ia melindungi Diary itu seperti memagari nyawanya, ia memeluk dan mengenggam benda itu erat dan dalam.

“Siniin gak?”

“Enggak!”

Pay menembakkan tinjunya ke wajah Reza. Kacamata Reza mengersik pecah dan tergeret ke lantai. Pay terus membentak garang, “Siniin gak?!”

Aku mendekat perlahan, mengerang hingga letih, “Udah Pay. Udah!”

Pay tak acuh. Boys will be boys. Siswa-siswi merapat menontoni pertujukan gila itu, hening dan menggumam. Dengan wajah yang sudah memar merah membiru, Reza menatapku, “Mi...gu..gue buat foto itu sebelum gue deket ma kamu...”

Pay menghantam Reza lagi dengan tinjunya, tetapi Reza tak enggan berhenti, “Gua bawa Diary ini ke sekolah buat ditunjukin ma lo... Gue...gue cuman mau minta maaf dan jujur ke elo kalo gue dah bi...bikin itu. Gue udah berubah semenjak gue kenal elo. Gue suka dan gue cinta elo...”

Mendengar kata ‘suka’ dan ‘cinta’, emosi Pay tak terbendung. Air ramah menjadi bencana. Kepalan kekar menghujani wajah Reza. Berdegup menubruk tulang. Bergeretak, tulang muka yang patah. Reza mengesup darah kental di hidungnya, ia tetap menggenggam Dairy di pelukan. Aku berlutut, menarik-narik lengan Pay yang tak berhenti berayun tak berlelah.

Pay menghisap nafas sebentar, matanya kalut. Tercium dari wajahnya bila ia hanya ingin menghabisi Reza dan tak akan ada yang bisa menghentikannya. Pay menggenggam tinju dan melepaskan pukulan yang lebih keras dari sebelumnya. Kepala Reza terjungkal, memantul menghantam lantai, sorot matanya padam tak sadarkan diri. Aku hanya bisa menangis, menangis, dan menjerit.

Aku menjerit, meneriaki Pay yang kalap itu, “Kamu udah gila! Kita putus!”

Pay tidak peduli, ia bangkit dan berjalan perlahan menyerahkan dirinya ke Satpam sekolah yang baru saja muncul.

***

Hanya satu hari setelah kejadian itu, Pay dikeluarkan dari sekolah. Drop Out. Kami tidak pernah berkomunikasi lagi. Lagipula aku sudah memutuskannya. Sementara Reza, ia berada di rumah sakit. Orang tuanya lebih memilih menyekolahkan anak mereka itu di sekolah yang bebas aksi bully. Aku sadar bahwa keputusan kecil bisa berdampak besar pada hidupku, hidup mereka dan hidup orang banyak.

Aku adalah kuncup bunga yang baru, ditemani kupu-kupu yang baru bermetamorfosis.

Sebulan setelahnya, aku tetap bersekolah di sana. Aku duduk taman sekolah sambil memandangi siswi-siswi berlatih basket. Berolahraga membuat pikiranku menjadi aktif dan aku move on seperti pesawat jet. Melupakan kejadian itu semudah menjentikkan jari. Aku duduk rileks ditemani Linda sambil bergantian mereguk Pocari Sweat.

“Gue gak pernah berterimakasih, lo udah banyak nolongin gue,” kataku. Linda menatapku dengan senyum kharismatisnya. Ia mengusap dahiku yang basah dan merapikan rambutku ke belakang telinga.

“Gak perlu, Say. Lo udah punya gue sekarang.”

Girl power. Linda sudah menyadarkan aku bahwa bukanlah cowok-cowok itu yang aku cari. Ia sudah menjeratku dalam permainannya. Her game, her rules. Linda sudah menyarankanku untuk memutuskan Pay, menyarankanku selingkuh hingga membuat kedua cowok malang itu saling menghabisi. Ia berhasil. Apakah campur tangannya itu hanya imajinasiku? Aku tidak tahu. Yang jelas aku sudah terkungkung dalam jebakannya. Jebakan cinta dan aku nyaman berada di dalam jebakan itu.

“Kamu udah berkorban banyak buatku Lin.” 

“Kamu udah ngelengkapin aku sekarang,” balas Linda sambil menggenggam tanganku. Jemari kami saling mengunci. Ucapannya membuatku melayang, aku tak bisa menahannya lagi. Satu kecupan untuk Linda membuatku menjadi istimewa lagi.

Aku sudah tahu tujuanku sekarang. Cinta itu harus memiliki. Bagaimana pun caranya, aku harus memiliki cinta itu. Apa aku egois? Not really.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar