Selasa, 29 April 2014

Jurnal Janin #4 : Voice dan Setting



Voice. Huffttt.........Ini adalah bagian yang paling sangat tersulit sekali.

Karena, pengalaman menulis, pengetahuan serta seberapa sering kita membaca akan terlihat di sini. Voice adalah diksi, voice adalah tone. Ini adalah jantung dan saraf cerita. Bayangkan seorang wanita cantik tapi ternyata ia adalah robot. Saya tidak begitu yakin soal ini.

Masalah lagi.

Saya tidak pernah menulis/membaca romansa. Saya tidak memahami voice romansa sama sekali. Saya tahu Thriller atau gaya khas Chuck Palahniuk. Saya tak punya pilihan, saya tetap maju. Maka sebisa mungkin saya buat voice yang unik setiap karakter utamanya. Masing-masing punya gaya narasi sendiri, masing-masing punya pilihan kata sendiri. Hanya itu senjata saya. Hanya itu.

Voice membuat deskripsi menarik dan tak membosankan, tidak narasi robot/wartawan. Namun, saya awam soal gaya romansa.

Saya harus memerhatikan pula kalau narasi harus flow, enak dibaca, dan diikuti. Saya tidak ingin tenggelam arus dalam durja seraya menilik mata langit bercorak muram terpaksa gelagapan ozon berutang angkasa. What? Sederhananya berimbang deskripsi dan narasi, menghindari over voice a la stream of consciousness.  

Voice memang sulit bagi saya tapi inilah bagian yang paling menyenangkan karena saya bisa bereksperimen dengan narasi si protagonis.

Setting.

Cukup lama saya tinggal di Bandung. Jujur, saya tidak terlalu gembira selama tinggal di sana. Statis. Namun, cerita ini sangat pas jika dipadukan dengan setting kota Bandung. Sekarang saya tinggal di Palembang. Saya cukup membayangkan saja tempat-tempat untuk adegan-adegan dalam cerita.

Saya ingin unik untuk kedua plot. Plot utama sepenuhnya berada di malam hari, sementara plot sampingan kebanyakan di pagi hingga sore hari. Musim hujan. Sekali lagi, saya ingin membuat kontras kedua hidup orang ini.