Voice. Huffttt.........Ini adalah bagian yang paling
sangat tersulit sekali.
Karena, pengalaman menulis, pengetahuan serta seberapa
sering kita membaca akan terlihat di sini. Voice
adalah diksi, voice adalah tone. Ini adalah jantung dan saraf
cerita. Bayangkan seorang wanita cantik tapi ternyata ia adalah robot. Saya
tidak begitu yakin soal ini.
Masalah lagi.
Saya tidak pernah menulis/membaca romansa. Saya tidak
memahami voice romansa sama sekali. Saya tahu Thriller atau gaya khas Chuck
Palahniuk. Saya tak punya pilihan, saya tetap maju. Maka sebisa mungkin saya
buat voice yang unik setiap karakter utamanya. Masing-masing punya gaya narasi
sendiri, masing-masing punya pilihan kata sendiri. Hanya itu senjata saya.
Hanya itu.
Voice membuat deskripsi menarik dan tak membosankan,
tidak narasi robot/wartawan. Namun, saya awam soal gaya romansa.
Saya harus memerhatikan pula kalau narasi harus flow, enak dibaca, dan diikuti. Saya
tidak ingin tenggelam arus dalam durja seraya menilik mata langit bercorak muram
terpaksa gelagapan ozon berutang angkasa. What?
Sederhananya berimbang deskripsi dan narasi, menghindari over voice a la stream of
consciousness.
Voice memang sulit bagi saya tapi inilah bagian yang
paling menyenangkan karena saya bisa bereksperimen dengan narasi si protagonis.
Setting.
Cukup lama saya tinggal di Bandung. Jujur, saya tidak
terlalu gembira selama tinggal di sana. Statis. Namun, cerita ini sangat pas
jika dipadukan dengan setting kota Bandung. Sekarang saya tinggal di Palembang.
Saya cukup membayangkan saja tempat-tempat untuk adegan-adegan dalam cerita.
Saya ingin unik untuk kedua plot. Plot utama
sepenuhnya berada di malam hari, sementara plot sampingan kebanyakan di pagi
hingga sore hari. Musim hujan. Sekali lagi, saya ingin membuat kontras kedua
hidup orang ini.