Kamis, 03 April 2014

#ProyekMenulis



Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Proyek Menulis Letters of Happiness: Share your happiness with The Bay Bali & Get discovered!



35%


Kalau aku menyalakan korek gas di tangkup mulut, kujamin api bakal menyembur liar. Naga api, punya segudang prinsip untuk dipertahankan. Duduk di pasir basah leyot memelototi sunrise. Langit pudar dengan lapisan. Dari yang paling jauh di hulu cakrawala: jingga, kuning, hijau, abu-abu, dan hitam. Berlapis, difilter pucat subuh yang masih muda. Layer Rainbow Cake. Histeria sementara. Bahagia seharga Rupiah.

          Perspektif.

Aku menggenggam Bacardi Superior 35% alkohol. Di tangan kanan, aku menyulut Malboro. Kujauhkan nyala api dari bibir. Just in case. Tapak tanganku berpasir becek. Begitu pula kerutan siku. Sela-sela jejari kaki digelembungi pasir basah. Wajah dan spike rambutku yang tadinya keras, sekarang luyu dihajar angin laut semeraut.

 Kebahagiaan.

Dua Sejoli di arah jam 4 sana, saling mengunci, merangkul pinggul. Berdiri intim di bibir pantai. Kaki-kaki mereka menikam air laut jinak setinggi betis. German Shepherd mereka riang menyalak kering ke cakrawala, berenang lincah. Mereka melihat sunrise sebagai kebahagiaan yang gampang dibeli. Tepatnya berharga dua juta semalam. Sementara aku, melihat hiasan subuh ini sebagai rutinitas bumi jutaan tahun. Visiku buram. Kepalaku berayun, disorientasi gravitasi. Udara yang kuhirup adalah alkohol dari lubang hidungku yang terkepul pasir.

Aku menonjolkan kelingking. Cincin perak Diamond Framed Bridal Zales melingkar kencang. Sepuluh juta. Yang harusnya kusematkan ke calon tunanganku, Emily. Dia juga yang mensugestiku untuk menyedot tabungan, di hari ulang tahunnya ke-26.

Sekat mata ber-softlens hijaunya menyala saat aku menampakkan kue Little Mountain of Happiness. Tumpukan glukosa penyebab Diabetes. Berlapis dari atas: Stroberi-Blackberry-Ceri berserbuk gula, krim kocok, brownies, krim kocok, dan brownies lagi. 100 gram lebih porsi gula. Bom waktu. Aku bilang ke Emily, “Make a wish.”

Dia memanggut lugu, “Udah.” Seraya menunjukkan punggung tangan, melipat semua jemari kecuali jari manis.

Kutangkap maksudnya. Wanita mengidamkan itu. Dongeng klise Putri Anggun menanti Pangeran Tampan. Wajahku serasa digampar dengan tangan lentik ber-nail art pink polkadotnya. Nail art karya Nail Hard. Bibir molek mengkilap ber-lip gloss-nya menggeronyot menunggu balasanku. Ia menelan senyum sepat.

“Mungkin,” ucapku.

Alis tipis berenggang jauh miliknya itu jatuh merendah. Philtrum-nya mengencang, seiring gerinyut mulut. Aku benci wajah itu. Emily santai saja bilang, “Inget, apa aja yang udah gua kasih ke kamu lima tahun belakangan.”

Benar dan berlebihan.

Kalau yang dia maksud Range Rover Evoque, dia salah. Aku inilah yang melunasi Evoque Special Edition Victoria Beckham itu. Kalau yang dia bilang memberikan tubuhnya, ada benarnya juga. Apa pula maksudnya? Dia mau minta bayar atas pelayanannya selama ini? Aku menumpuk penyakit seperti kue Little Mountain of Happiness. Aku pun membeli cincin itu. Dia belum puas. Emily paling bisa melumatku dengan sugesti arogannya.

“Bawa gue ke tempat kita pertama ketemu.”

Aku mengangkat satu tenggakan penuh Bacardi. Isi botol bening itu tinggal separuh, kusesap sedari tengah malam. Hempasan pudar berdenyut. Malboro merah kusedot dalam, meruncingkan baranya. Titik api mencuil pipiku.

Aku angkut Ratu-ku ke The Bay Bali. Melampiaskan kemauannya. Aku menggotong satu tas Eiger Multi Purpose, dia bawa Satu Koper Polo klasik bersama Marc Jacobs Quilted Eyelets Gotham dan dompet Long Flat Pochette. Tentu tak lupa gaun mahal bermacam merek antah berantah. Kami lepas landas dari Jakarta gerah ke Bali berkeringat dan sampai di The Bay Bali Nusa Dua. Aku ingin hidup penuh rencana seperti tempat pelesiran ini. Pebisnis dan consumer, rantai merantai membentuk jejaring.

Perspektif kebahagiaan.

Aku bertukar pandang dengan Emily pertama kali di pantai ini. Lokasi yang sama dimana aku duduk, menenteng Bacardi dan Malboro saat ini. Dua Sejoli itu saling mengecup, si wanita merangkul mesra pundak si pria bertubuh atletis. Pria itu mengunci pinggul ramping kekasihnya. Tangannya korup, turun hingga ke pantat tepos. Tentu wanita itu tak keberatan. Libido mengacau logika. German Shepherd mengucak air asin, menggeliat, mengejar ekor. Buih-buih pecah, berayun lamban, mencium, dan mencoba menghisap kaki becekku.

Sesapan Bacardi lagi.

Sudut dunia ini punya segalanya. Toserba. Kulnier berbagai benua, opera dengan peforma western 60-an, festival budaya berbudi luhur, alkohol cukai tinggi, Dinner-Gathering Foodgasm tepi pantai, musik selera adat, dan party dijamu DJ kelas kakap. Inilah ketika Tragedi Bintaro ambil bagian. Tradisi lokal menubruk modern-hedonis. Dunia Sci-Fi era Dystopian, manusia baru pasca perang dingin, resesi global, dan menanti ambang Perang Dunia Ketiga.

Pasca check in di Apartemen Bay Bali selama dua malam, kebahagiaan sesaat menyapa kami. Kemewahan seharga empat juta per malam. Perfect spot. Menghadap ke laut, bersimbah langit biru siang telanjang tak ber-awan. Ranjang ukuran California King berkiblat sama, dihibur TV flat HD 1080 pixel dengan 200+ saluran dan satu saluran internal.

Aku berbaring di atas kasur berlapis comforter Martha Stewart, seraya meremas remote universal. Sementara Emily berdiri di balkon mengincar view, mencecar sudut selfie, update Path dan Twitter. Meliuk girang, cekikikan, mengenakan tank top ungu bertungkup dada kecil, dan hot pant pink. Kulit tan palsunya berkeringat, berupaya mendapatkan tan line agar terlihat atraktif di mata biru penjajah. Agenda tersembunyi.

Jual diri.

Aku tak minat memeriksa tan line Emily. Aku mengubah saluran, menjadi siaran internal The Bay Bali. Share your happiness with The Bay Bali and get discovered!

Kalimat yang menjelaskan semua.

Aku melirik montoknya bokong Emily yang menungging di pagar besi balkon, merenggangkan tubuhnya. Badannya masih langsing. Aku tak percaya dengan permukaan kulit eksotis itu. Wajah orientalnya berbohong dengan kulitnya. Emily telah menyembunyikan kehamilannya. Beberapa hari sebelum berangkat, aku menemukan lempengan lemas Pregnancy Digital Test di kotak sampah plastik kamarnya.

Positif.

Aku ini orangnya aman. Satu juta persen itu bukan anakku dan aku tahu siapa yang menghamili Emily. Walau aku mabuk sekarang dan saat berdua dengan Emily, aku tak lupa keamanan. Aku hafal pria laknat ini.

Aku menyeruput Bacardi dan menyalakan sebatang Malboro.

Lidahku panas mencubit atap mulut. Angin masih berhembus berang. Lengan kemeja garis hitam biruku tergulung sebelah kiri saja. Dikerubungi pasir kering. Jeans hitam ketat Levi’s-ku sudah amburadul. Lecek, kumal, dan pasir di seputaran. Pantofel-ku entah di mana aku lempar. Mungkin tengah mengapung di Australia. Tapak jemari kakiku mengkerut. Aku tak acuh. Dua Sejoli saling menarik lengan mereka, mendoyongkan bahu mereka ke belakang. Gasing manusia. Berputar, mengocok permukaan air laut yang dikilau pantulan purnama, ombak ramah menjilati pantai. Tawa garing mereka merangsang German Shepherd berjinjit pejal.

TV resolusi tinggi kumatikan. Aku berayun turun dari ranjang. Dengan masih memakai boxer, aku melipat tangan di dada. Emily memancingku dengan mengigit bibirnya, memandangiku genit, mengamatiku dari bawah pinggang ke ujung rambut spike. Nafsuku sudah pupus.

“Kamu mau ketemu Diego lagi kan?” ucapku.

Seringai genitnya tertahan. Pupil bergerak dari sudut ke sudut. Rambut lurus hasil catokan berayun ditendang angin gerah. “Mau berapa kali kita tuh ngomongin ini?”

Wanita terbodoh yang pernah kutemui. Jelas-jelas dari segala sosial media yang dipunya Putri Kerajaan Khayalan ini, yang namanya Diego itu pasti selalu comment. Boleh saja dia bilang seribu kali kalau Diego si Bule Perancis itu cuman teman. Penpals. Sahabat pena. Lucu kalau dipikir lagi. Emily adalah jagonya memanipulasi tabir. Aku juga menemukan kondom extra large merek Max di laci kamarnya. Padahal dia tahu ukuranku.

“Pokoknya gua gak mau liat Diego di sini.”

Emily merapat, menarik-narik kedua tanganku, mengejangkannya. “Yang! Diego tuh udah tunangan ... Dia kan emang tinggal di Nusa Dua. Gak perlu jealous lah.”

Ia memeluk perut gembulku. Menyandarkan pipinya, sesekali mendongak, melirik malu-malu, berpura-pura mesra. “Kita kan mau seneng-seneng di sini.” Pelukannya semakin kencang, “kamu dah beli kan?”

Cincin saja di kepalanya.

“Bukan kejutan namanya kalau gue cuap-cuap, ngasih tau kamu.”

Emily terkikih nakal. Aku melepas rangkulan berkeringat lengket itu. Deodoran-nya tak banyak kerja. Ia menurunkan kacamata dari jidat, kembali mengumbar panorama dengan foto selfie-nya. Menyebarkan di dunia maya, dada mini atau tan line miliknya.

Aku menyalakan Malboro. Kulirik isi kotak, sisa tiga. Bacardi tinggal seperempat, aku mengangkat tenggakan lagi. Rum bercampur dengan asap Rokok Putih. Berebutan memuaskan saraf. Kebahagiaan semu. Sementara Dua Sejoli ketawa-ketewi seakan petak pantai ini punya mereka. Si Pria meraih frisbee, melempar, dan memperbudak anjingnya untuk mengejar. Anjing itu atletis seperti Bapak semangnya. Melompat terjal hingga dua meter. Cakrawala menarik cahaya remang dari bumi bagian lain. Mentari masih membalam.

Aku dan Emily menyambangi Gathering di pinggir pantai. Kebanyakan ekspatriat. Grup Sosialita Cougar berselulit di paha mereka, menjajal remaja Australia umur belasan. Seperti melihat ibu dan anak. Kumpulan gadis dua puluh tahunan berambut pirang begitu tertarik dengan pria Brazil berwajah ramah berkulit eksotis, berotot telanjang dada. Pria-pria gendut berwajah nerd mengambil keuntungannya sebagai kulit putih, menarik talenta domestik yang lugu. Sementara pria-pria lokal gambling dengan para gadis rambut merah dan coklat, menggunakan budaya, tembang, dan atraksi telan api. Tidak ada yang murung dari rupa-rupa itu.

Sementara aku dengan beban ini.

Asap wangi ikan bakar menantang hidung. Mendesis gurih gorengan ikan gurame sambal balado. Sambal bawang menghajar ekspatriat, kepala mereka memerah masif. Angin malam berayun mengibas rambut lurus Emily. Tank top-nya mengumbar tan line. Terus menerus melongok, memerhatikan Bule, melempar senyum setiap dua meter. Wewangian bunga Violet Miss Dior Cherie menganga, menyengit udara.

Jual diri.

Emily mengajakku duduk di meja kayu bundar. Aku malas membukakan kursi untuknya. Duduk manis seketika di kursi kayu lipat dengan sandaran miring. Sela-sela lebar kursi menjepit lipatan bahuku. Aku termangu menanti ulah Emily, duduk bungkam, menghirup asap bakaran. Emily dan agenda tersembunyi.

“Nungguin Diego dulu,” ucapnya.

Di saku kemejaku, tersembunyi cincin proposal kawin. Meringkuk dalam gelap dengan kilaunya, bersama serpihan tembakau Malboro. Senjata rahasia. Siap mengungkap takdir dan tabir. Apakah wanita eksotis karbitan ini bakal mendampingiku di pelaminan nanti?

Diego muncul menggandeng wanita mungil berkulit gelap.

Si Bule duduk di sebelah Emily, pacarnya menyanding sebelah kananku. Swinger. Diego menyapaku dengan senyum dibuat-buat dan suara robot menirukan logat lokal. Aku membalas dengan menaikkan alis. Pacarnya cengengesan, bedak tebal di wajahnya mendempul kulit asli. Memakai tank top hitam ketat tak bertali, mengumbar dada montok.

Aku mencucup Bacardi lagi.

Angin keluar dari perut dan mulut, bercampur sendawa alkohol. Mukaku kering dihajar angin dingin. Leher pegal nyaris tumbang. Pandangan merabun, berdenyut-denyut menggoyang visi. Tirai cakrawala mulai terbuka, menonjolkan sinar jingga lancip. Dua Sejoli merekam detik kelahiran hari dengan smartphone entah Iphone entah Samsung Galaxy. German Shepherd bersemangat melaju di depanku merejang ombak halus, menciduk frisbee dari lapisan air. Aku baru tahu kalau frisbee itu berwarna kuning. Disorientasi warna.

Gurita garing goreng terpampang di atas piring. Apakah sajian ini bakal balik melahapku? Tentakel crispy kaku, kepala melendung keras, dihidangkan dengan sambal kecap, dan garnish brokoli. Mereka bertiga memesan es jeruk, aku pilih teh hangat. Minuman rakyat harga konglomerat. Si Diego membuka mulutnya.

“Ketanya kelian mou nikah?”

Mulut berat robot. Kepalanya gundul, menggeliatkan selangkangan wanita lokal. Bintik-bintik flek coklat terpencar di rupanya. Tumpukan bintik itu lebih padat di bawah leher. Kancing kemejanya terbuka dua, mengobarkan lautan bulu macho. Aku sungkan menjawab ucapannya, tentu Emily lebih proaktif.

“Segera.”

Aku lapar berat. Tak ragu, aku menggeramus hidangan laut berbau sengit itu. Home Band menghardikku dengan lagu cinta. How Deep is Your Love? versi akustik. Band menghibur di atas panggung modern minimalis, dinaungi tiang lampu panggung warna warni. Gitaris memanipulasi gitar elektrik Fender Stratocaster 1958 bersuara akustik dengan Boss AC-3 Acoustic Simulator. Non-natural. Palsu. Aku harap tiang lampu itu tumbang menghantam kepala gitaris. Lima menit saja aku selesai membereskan si gurita.

Emily sibuk mengobral obrol dengan Diego ini. Nyaman, gatal, tertawa di setiap joke najis murahan yang dilontar Diego. Aku menyetop keharmonisan mereka, memanggil Emily dari dunia lainnya.

“Yuk cabut.”

Emily serba enggan. Si Bule melongok, bertanya-tanya. “Mau ke mana?”

“Balik ke kamar.”

Diego menatap Emily. “Ke hati aku aja.”

Emily cekikikan. Ingin aku ludahi wajah keduanya. Namun, aku tak mau mengumpat kedamaian akulturasi budaya di sekelilingku. Bertingkah bodoh, berakhir seperti gurita malang. Emily menggelengkan kepala. “Tar aja abis party. Masa kita tiduran di kamar aja, malah gak dateng ke puncak acaranya.”

Tak punya pilihan, aku manut saja. Tengah malam, pesta liar digelar. Di pinggir pantai, puluhan turis lokal dan luar bergumul menjadi gumpalan manusia. Pria bertelanjang dada, wanita bertelanjang budaya. DJ asing menghipnotis dengan loop ekstra degupan bass, mempercepat Lazy Song Bruno Mars jadi tempo tinggi. Riuh gempita turis berkecamuk, mengangkat gelas bir. Aku di tengah lautan keringat, enggan bersanding dengan pacarnya Diego. Emily malah meliuk gatal dipunggungi dada bidang Diego.

Jual diri.

Long Pause musik disko memperlambat tempo. Dentungan bass melambat, memberikan tanda bagi pecandu pesta agar bersiap dengan letupan dinamit bahagia selanjutnya. Degupan bass merambat cepat. Menghentak adrenalin. Lampu-lampu panggung berlarian mengumbar sinar. Wanita-wanita pirang berjoget luyu, mabuk berat, pasrah digerayangi pasangan. Emily menyesap empat gelas bir Heineken. Teritoriku dijajah Diego. Si Bule dengan nikmatnya berdansa-dansi membelai tubuh mungil pacarku. Pacarnya Diego enggan melirikku, lebih girang dengan kulit putih.

Disko meledak. Tempo tinggi menghajar tetamu. Lautan keringat melompat semangat, semakin lama makin bergairah. Teriakan merong-rong udara. Emily lepas kendali, ia mengecup dada Diego, pindah ke bibir. Diego jelas tak keberatan. Aku merapat, mengambil, menarik lengan kurus Emily. Kecupan terlepas. Keduanya melongok lugu.

C’mon man!” ucap Diego.

Aku menunjuk kepala botaknya. “Punya lo masih ada!”

Diego menyeringai mabuk, pipinya merah. Aku menarik tangan Emily, tubuhnya tertarik menyelinap dari himpitan pecandu pesta.

Emily tertawa. “Lo tuh ngapain? ... Udah ... lo cari juga cewek laen. Gak papa kok ... buat malem ini aja!” Ia kembali cekikikan, bergoyang lembut mengundangku berdansa.

“Lo gak inget kenapa lo ngajak gue ke sini!”

Emily melengos. “Ampun DJ!!” teriaknya ke langit.

Aku mengangkat ketiaknya, menarik kulit berkeringat, menyusur menyempilkan tubuh, melalui lautan manusia. Aku berhasil meretas kerumunan itu, membawanya menjauhi pesta pora, menuju pinggir pantai. Tubuhku berkeringat deras, lengan-lengan kemeja kugulung. Angin deras menerjang rambut kami. Seputaran kami senyap. Para turis semuanya berkumpul di pesta. Emily terkikih terus. Mabuk berat, langkahnya lunglai. Aku harus menahan bahu depannya. Lengan kananku mengambil cincin dari saku kemeja dan menampakkan cincin mahal itu.

Emily terkikik, mengerutkan kelopak mata, menatapku. “Bentar ... bentar ... pasti ‘will you marry me’ kan?”

Aku berdecih membuang muka. Tanganku tergabas mencobloskan cincin di jari manis lenitknya. Ia menolak, menyimpan tangan.

Emily menyeringai berwajah mengejek. “Lo dah sinting ya? Emang gue mau nikah ma lo?”

Kepalaku ingin meledak mendengar itu. Habis-habisan aku dihajarnya hari ini. Dia yang mengajakku ke The Bay Bali yang spektakuler ini, dia yang mengusirku. Tapak tanganku memeganggi wajahnya. Aku berbisik pelan. “Kamu tuh cinta gak ma aku?”

Ia mengangguk.

“Trus, mau gak nikah ma aku?”

Ia tertawa dan mengusapi perutnya. “Aku hamil.” Wajah kocaknya menguap, merambat menjadi murung. Alisnya merendah dalam, matanya mengerling berkaca. “Diego.”

Aku menghela nafas dalam. Tinju kerasku menghantam pipinya, kepalanya terjengkang ke samping. Tubuhnya tumbang terlentang. Lengan kanan kemejaku melorot. Aku mengangkangi tubuh mungilnya yang terbaring lemas. Aku mencekik lehernya. Leher itu mengejang. Teriakannya tertahan di tenggorokan. Decakan dahak tersekat. Matanya melotot seakan bakal meloncat. Urat di lehernya menebal, wajahnya memerah. Nafas dari hidungnya semaput, terserak-serak memaksa meminta udara. Kesupan nafas perlahan memelan. Perut kembang kempis lamban. Aku menekan lebih kuat.

“Inikan yang kamu mau?”

Kebahagiaan yang aku mau. Menghindari kenyataan pelik. Emily tewas di tanganku, mati di tempat dimana kami pertama bertemu. Aku meninggalkan tubuhnya tergolek, menuju bar di pesta liar. Membeli sebotol Bacardi Superior dan sebungkus Malboro.

Perspektif.

German Shepherd menolak mengejar frisbee yang dilempar Dua Sejoli. Anjing itu menggong-gong ke arahku. Ia merapat kencang, injankan empat kaki sibuknya mengersik pasir leyot. Garis cakrawala menebal. Sinar jingga terbit juga, memberi permukaan air pantulan lembut, berbintik-bintik kilauan jernih. Angin tetap ganas. German Shepherd mendekatiku menyalak garang di dekat kuping. Aku bangkit menggondol Bacardi dan menyalakan satu batang terakhir Malboro-ku. Aku meninggalkan si Anjing. Ia sibuk memutari bekas pantatku yang telah duduk berjam-jam.

Aku mendekati garis pantai. Menjajal air asin dingin. Aku menjangkah berat, perlahan air sudah separuh badan. Rokokku basah kuyup.

Satu tenggakan terakhir Bacardi 35% alkohol melengkapi kebahagiaan ambigu.

Aku melempar botol kosong Bacardi ke depan jauh. Menyaksikan sunrise dengan perspektif berpendar dan visi memudar. Aku menghirup dalam-dalam udara murni pantai The Bay Bali ini. Tempat dimana aku dan Emily bertemu juga berpisah. Aku teringat saluran internal di apartemen dan aku melompat masuk ke bawah air. Aku yakin tak lama lagi German Shepherd dengan endusan tajamnya, bakal menemukan bangkai Emily yang terkubur satu meter setengah. 

         Share your happiness with The Bay Bali and get discovered! Kata mereka.

 
****




4 komentar:

  1. Makasih udah mampir di gubuk saya ... hehehe

    BalasHapus
  2. pria bertelanjang dada, wanita bertelanjang budaya? .. so cool ~

    BalasHapus
  3. good... :) mampir juga yak, http://nelvianti.blogspot.com :)

    BalasHapus