Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Proyek Menulis
Letters of Happiness: Share your happiness with The Bay Bali & Get
discovered!
35%
Kalau aku menyalakan korek gas di tangkup mulut,
kujamin api bakal menyembur liar. Naga api, punya segudang prinsip untuk
dipertahankan. Duduk di pasir basah leyot memelototi sunrise. Langit pudar dengan lapisan. Dari yang paling jauh di hulu
cakrawala: jingga, kuning, hijau, abu-abu, dan hitam. Berlapis, difilter pucat
subuh yang masih muda. Layer Rainbow Cake. Histeria sementara.
Bahagia seharga Rupiah.
Perspektif.
Aku menggenggam Bacardi Superior 35% alkohol. Di tangan
kanan, aku menyulut Malboro. Kujauhkan nyala api dari bibir. Just in case. Tapak tanganku berpasir
becek. Begitu pula kerutan siku. Sela-sela jejari kaki digelembungi pasir basah.
Wajah dan spike rambutku yang tadinya
keras, sekarang luyu dihajar angin laut semeraut.
Kebahagiaan.
Dua Sejoli di arah jam 4 sana,
saling mengunci, merangkul pinggul. Berdiri intim di bibir pantai. Kaki-kaki
mereka menikam air laut jinak setinggi betis. German Shepherd mereka riang menyalak kering ke cakrawala, berenang
lincah. Mereka melihat sunrise
sebagai kebahagiaan yang gampang dibeli. Tepatnya berharga dua juta semalam.
Sementara aku, melihat hiasan subuh ini sebagai rutinitas bumi jutaan tahun.
Visiku buram. Kepalaku berayun, disorientasi gravitasi. Udara yang kuhirup
adalah alkohol dari lubang hidungku yang terkepul pasir.
Aku menonjolkan kelingking.
Cincin perak Diamond Framed Bridal Zales melingkar kencang. Sepuluh juta. Yang harusnya kusematkan
ke calon tunanganku, Emily. Dia juga yang mensugestiku untuk menyedot tabungan,
di hari ulang tahunnya ke-26.
Sekat mata ber-softlens hijaunya menyala saat aku
menampakkan kue Little Mountain of
Happiness. Tumpukan glukosa penyebab Diabetes. Berlapis dari atas:
Stroberi-Blackberry-Ceri berserbuk
gula, krim kocok, brownies, krim kocok, dan brownies lagi. 100 gram lebih porsi
gula. Bom waktu. Aku bilang ke Emily, “Make
a wish.”
Dia memanggut lugu, “Udah.” Seraya
menunjukkan punggung tangan, melipat semua jemari kecuali jari manis.
Kutangkap maksudnya. Wanita
mengidamkan itu. Dongeng klise Putri Anggun menanti Pangeran Tampan. Wajahku
serasa digampar dengan tangan lentik ber-nail
art pink polkadotnya. Nail art
karya Nail Hard. Bibir molek
mengkilap ber-lip gloss-nya menggeronyot
menunggu balasanku. Ia menelan senyum sepat.
“Mungkin,” ucapku.
Alis tipis berenggang jauh
miliknya itu jatuh merendah. Philtrum-nya mengencang, seiring gerinyut mulut.
Aku benci wajah itu. Emily santai saja bilang, “Inget, apa aja yang udah gua
kasih ke kamu lima tahun belakangan.”
Benar dan berlebihan.
Kalau yang dia maksud Range Rover
Evoque, dia salah. Aku inilah yang melunasi Evoque Special Edition Victoria Beckham itu. Kalau yang dia bilang memberikan
tubuhnya, ada benarnya juga. Apa pula maksudnya? Dia mau minta bayar atas
pelayanannya selama ini? Aku menumpuk penyakit seperti kue Little Mountain of Happiness. Aku pun membeli cincin itu. Dia belum
puas. Emily paling bisa melumatku dengan sugesti arogannya.
“Bawa gue ke tempat kita pertama
ketemu.”
Aku mengangkat satu tenggakan
penuh Bacardi. Isi botol bening itu
tinggal separuh, kusesap sedari tengah malam. Hempasan pudar berdenyut. Malboro
merah kusedot dalam, meruncingkan baranya. Titik api mencuil pipiku.
Aku angkut Ratu-ku ke The Bay
Bali. Melampiaskan kemauannya. Aku menggotong satu tas Eiger Multi Purpose, dia bawa Satu Koper Polo
klasik bersama Marc Jacobs Quilted
Eyelets Gotham dan dompet Long Flat
Pochette. Tentu tak lupa gaun mahal bermacam merek antah berantah. Kami
lepas landas dari Jakarta gerah ke Bali berkeringat dan sampai di The Bay Bali Nusa Dua. Aku ingin hidup
penuh rencana seperti tempat pelesiran ini. Pebisnis dan consumer, rantai merantai membentuk jejaring.
Perspektif kebahagiaan.
Aku bertukar pandang dengan Emily
pertama kali di pantai ini. Lokasi yang sama dimana aku duduk, menenteng Bacardi dan Malboro saat ini. Dua Sejoli
itu saling mengecup, si wanita merangkul mesra pundak si pria bertubuh atletis.
Pria itu mengunci pinggul ramping kekasihnya. Tangannya korup, turun hingga ke
pantat tepos. Tentu wanita itu tak keberatan. Libido mengacau logika. German Shepherd mengucak air asin,
menggeliat, mengejar ekor. Buih-buih pecah, berayun lamban, mencium, dan
mencoba menghisap kaki becekku.
Sesapan Bacardi lagi.
Sudut dunia ini punya segalanya.
Toserba. Kulnier berbagai benua, opera dengan peforma western 60-an, festival budaya berbudi luhur, alkohol cukai tinggi,
Dinner-Gathering Foodgasm tepi
pantai, musik selera adat, dan party
dijamu DJ kelas kakap. Inilah ketika Tragedi Bintaro ambil bagian. Tradisi
lokal menubruk modern-hedonis. Dunia Sci-Fi
era Dystopian, manusia baru pasca
perang dingin, resesi global, dan menanti ambang Perang Dunia Ketiga.
Pasca check in di Apartemen Bay Bali selama dua malam, kebahagiaan sesaat
menyapa kami. Kemewahan seharga empat juta per malam. Perfect spot. Menghadap ke laut, bersimbah langit biru siang
telanjang tak ber-awan. Ranjang ukuran California
King berkiblat sama, dihibur TV flat
HD 1080 pixel dengan 200+ saluran dan satu saluran internal.
Aku berbaring di atas kasur berlapis
comforter Martha Stewart, seraya meremas
remote universal. Sementara Emily
berdiri di balkon mengincar view,
mencecar sudut selfie, update Path dan Twitter. Meliuk girang,
cekikikan, mengenakan tank top ungu bertungkup
dada kecil, dan hot pant pink. Kulit tan palsunya berkeringat, berupaya
mendapatkan tan line agar terlihat
atraktif di mata biru penjajah. Agenda tersembunyi.
Jual diri.
Aku tak minat memeriksa tan line Emily. Aku mengubah saluran, menjadi
siaran internal The Bay Bali. Share your
happiness with The Bay Bali and get discovered!
Kalimat yang menjelaskan semua.
Aku melirik montoknya bokong
Emily yang menungging di pagar besi balkon, merenggangkan tubuhnya. Badannya
masih langsing. Aku tak percaya dengan permukaan kulit eksotis itu. Wajah
orientalnya berbohong dengan kulitnya. Emily telah menyembunyikan kehamilannya.
Beberapa hari sebelum berangkat, aku menemukan lempengan lemas Pregnancy Digital Test di kotak sampah
plastik kamarnya.
Positif.
Aku ini orangnya aman. Satu juta
persen itu bukan anakku dan aku tahu siapa yang menghamili Emily. Walau aku mabuk
sekarang dan saat berdua dengan Emily, aku tak lupa keamanan. Aku hafal pria
laknat ini.
Aku menyeruput Bacardi dan menyalakan sebatang Malboro.
Lidahku panas mencubit atap mulut.
Angin masih berhembus berang. Lengan kemeja garis hitam biruku tergulung
sebelah kiri saja. Dikerubungi pasir kering. Jeans hitam ketat Levi’s-ku sudah amburadul. Lecek, kumal, dan
pasir di seputaran. Pantofel-ku entah di mana aku lempar. Mungkin tengah
mengapung di Australia. Tapak jemari kakiku mengkerut. Aku tak acuh. Dua Sejoli
saling menarik lengan mereka, mendoyongkan bahu mereka ke belakang. Gasing
manusia. Berputar, mengocok permukaan air laut yang dikilau pantulan purnama, ombak
ramah menjilati pantai. Tawa garing mereka merangsang German Shepherd berjinjit pejal.
TV resolusi tinggi kumatikan. Aku
berayun turun dari ranjang. Dengan masih memakai boxer, aku melipat tangan di dada. Emily memancingku dengan
mengigit bibirnya, memandangiku genit, mengamatiku dari bawah pinggang ke ujung
rambut spike. Nafsuku sudah pupus.
“Kamu mau ketemu Diego lagi
kan?” ucapku.
Seringai genitnya tertahan. Pupil
bergerak dari sudut ke sudut. Rambut lurus hasil catokan berayun ditendang
angin gerah. “Mau berapa kali kita tuh ngomongin ini?”
Wanita terbodoh yang pernah
kutemui. Jelas-jelas dari segala sosial media yang dipunya Putri Kerajaan
Khayalan ini, yang namanya Diego itu pasti selalu comment. Boleh saja dia bilang seribu kali kalau Diego si Bule
Perancis itu cuman teman. Penpals.
Sahabat pena. Lucu kalau dipikir lagi. Emily adalah jagonya memanipulasi tabir.
Aku juga menemukan kondom extra large merek
Max di laci kamarnya. Padahal dia tahu ukuranku.
“Pokoknya gua gak mau liat Diego
di sini.”
Emily merapat, menarik-narik
kedua tanganku, mengejangkannya. “Yang! Diego tuh udah tunangan ... Dia kan
emang tinggal di Nusa Dua. Gak perlu jealous
lah.”
Ia memeluk perut gembulku.
Menyandarkan pipinya, sesekali mendongak, melirik malu-malu, berpura-pura
mesra. “Kita kan mau seneng-seneng di sini.” Pelukannya semakin kencang, “kamu
dah beli kan?”
Cincin saja di kepalanya.
“Bukan kejutan namanya kalau gue
cuap-cuap, ngasih tau kamu.”
Emily terkikih nakal. Aku melepas
rangkulan berkeringat lengket itu. Deodoran-nya tak banyak kerja. Ia menurunkan
kacamata dari jidat, kembali mengumbar panorama dengan foto selfie-nya. Menyebarkan di dunia maya,
dada mini atau tan line miliknya.
Aku menyalakan Malboro. Kulirik
isi kotak, sisa tiga. Bacardi tinggal
seperempat, aku mengangkat tenggakan lagi. Rum bercampur dengan asap Rokok Putih.
Berebutan memuaskan saraf. Kebahagiaan semu. Sementara Dua Sejoli
ketawa-ketewi seakan petak pantai ini punya mereka. Si Pria meraih frisbee, melempar, dan memperbudak
anjingnya untuk mengejar. Anjing itu atletis seperti Bapak semangnya. Melompat
terjal hingga dua meter. Cakrawala menarik cahaya remang dari bumi bagian lain.
Mentari masih membalam.
Aku dan Emily menyambangi Gathering di pinggir pantai. Kebanyakan
ekspatriat. Grup Sosialita Cougar berselulit
di paha mereka, menjajal remaja Australia umur belasan. Seperti melihat ibu dan
anak. Kumpulan gadis dua puluh tahunan berambut pirang begitu tertarik dengan
pria Brazil berwajah ramah berkulit eksotis, berotot telanjang dada. Pria-pria
gendut berwajah nerd mengambil
keuntungannya sebagai kulit putih, menarik talenta domestik yang lugu.
Sementara pria-pria lokal gambling dengan
para gadis rambut merah dan coklat, menggunakan budaya, tembang, dan atraksi
telan api. Tidak ada yang murung dari rupa-rupa itu.
Sementara aku dengan beban ini.
Asap wangi ikan bakar menantang
hidung. Mendesis gurih gorengan ikan gurame sambal balado. Sambal bawang
menghajar ekspatriat, kepala mereka memerah masif. Angin malam berayun mengibas
rambut lurus Emily. Tank top-nya
mengumbar tan line. Terus menerus
melongok, memerhatikan Bule, melempar senyum setiap dua meter. Wewangian bunga
Violet Miss Dior Cherie menganga, menyengit udara.
Jual diri.
Emily mengajakku duduk di meja
kayu bundar. Aku malas membukakan kursi untuknya. Duduk manis seketika di kursi
kayu lipat dengan sandaran miring. Sela-sela lebar kursi menjepit lipatan
bahuku. Aku termangu menanti ulah Emily, duduk bungkam, menghirup asap bakaran.
Emily dan agenda tersembunyi.
“Nungguin Diego dulu,” ucapnya.
Di saku kemejaku, tersembunyi
cincin proposal kawin. Meringkuk dalam gelap dengan kilaunya, bersama serpihan
tembakau Malboro. Senjata rahasia. Siap mengungkap takdir dan tabir. Apakah
wanita eksotis karbitan ini bakal mendampingiku di pelaminan nanti?
Diego muncul menggandeng wanita
mungil berkulit gelap.
Si Bule duduk di sebelah Emily, pacarnya
menyanding sebelah kananku. Swinger.
Diego menyapaku dengan senyum dibuat-buat dan suara robot menirukan logat lokal.
Aku membalas dengan menaikkan alis. Pacarnya cengengesan, bedak tebal di
wajahnya mendempul kulit asli. Memakai tank
top hitam ketat tak bertali, mengumbar dada montok.
Aku mencucup Bacardi lagi.
Angin keluar dari perut dan
mulut, bercampur sendawa alkohol. Mukaku kering dihajar angin dingin. Leher
pegal nyaris tumbang. Pandangan merabun, berdenyut-denyut menggoyang visi.
Tirai cakrawala mulai terbuka, menonjolkan sinar jingga lancip. Dua Sejoli
merekam detik kelahiran hari dengan smartphone
entah Iphone entah Samsung Galaxy. German
Shepherd bersemangat melaju di depanku merejang ombak halus, menciduk frisbee dari lapisan air. Aku baru tahu
kalau frisbee itu berwarna kuning.
Disorientasi warna.
Gurita garing goreng terpampang
di atas piring. Apakah sajian ini bakal balik melahapku? Tentakel crispy kaku, kepala melendung keras,
dihidangkan dengan sambal kecap, dan garnish
brokoli. Mereka bertiga memesan es jeruk, aku pilih teh hangat. Minuman rakyat
harga konglomerat. Si Diego membuka mulutnya.
“Ketanya kelian mou nikah?”
Mulut berat robot. Kepalanya
gundul, menggeliatkan selangkangan wanita lokal. Bintik-bintik flek coklat
terpencar di rupanya. Tumpukan bintik itu lebih padat di bawah leher. Kancing
kemejanya terbuka dua, mengobarkan lautan bulu macho. Aku sungkan menjawab ucapannya, tentu Emily lebih proaktif.
“Segera.”
Aku lapar berat. Tak ragu, aku menggeramus
hidangan laut berbau sengit itu. Home
Band menghardikku dengan lagu cinta. How
Deep is Your Love? versi akustik. Band menghibur di atas panggung modern
minimalis, dinaungi tiang lampu panggung warna warni. Gitaris memanipulasi
gitar elektrik Fender Stratocaster 1958
bersuara akustik dengan Boss AC-3 Acoustic
Simulator. Non-natural. Palsu. Aku harap tiang lampu itu tumbang menghantam
kepala gitaris. Lima menit saja aku selesai membereskan si gurita.
Emily sibuk mengobral obrol
dengan Diego ini. Nyaman, gatal, tertawa di setiap joke najis murahan yang dilontar Diego. Aku menyetop keharmonisan
mereka, memanggil Emily dari dunia lainnya.
“Yuk cabut.”
Emily serba enggan. Si Bule
melongok, bertanya-tanya. “Mau ke mana?”
“Balik ke kamar.”
Diego menatap Emily. “Ke hati aku
aja.”
Emily cekikikan. Ingin aku ludahi
wajah keduanya. Namun, aku tak mau mengumpat kedamaian akulturasi budaya di
sekelilingku. Bertingkah bodoh, berakhir seperti gurita malang. Emily
menggelengkan kepala. “Tar aja abis party.
Masa kita tiduran di kamar aja, malah gak dateng ke puncak acaranya.”
Tak punya pilihan, aku manut
saja. Tengah malam, pesta liar digelar. Di pinggir pantai, puluhan turis lokal
dan luar bergumul menjadi gumpalan manusia. Pria bertelanjang dada, wanita
bertelanjang budaya. DJ asing menghipnotis dengan loop ekstra degupan bass, mempercepat Lazy Song Bruno Mars jadi
tempo tinggi. Riuh gempita turis berkecamuk, mengangkat gelas bir. Aku di
tengah lautan keringat, enggan bersanding dengan pacarnya Diego. Emily malah
meliuk gatal dipunggungi dada bidang Diego.
Jual diri.
Long
Pause musik
disko memperlambat tempo. Dentungan bass melambat, memberikan tanda bagi
pecandu pesta agar bersiap dengan letupan dinamit bahagia selanjutnya. Degupan
bass merambat cepat. Menghentak adrenalin. Lampu-lampu panggung berlarian
mengumbar sinar. Wanita-wanita pirang berjoget luyu, mabuk berat, pasrah
digerayangi pasangan. Emily menyesap empat gelas bir Heineken. Teritoriku dijajah Diego. Si Bule dengan nikmatnya
berdansa-dansi membelai tubuh mungil pacarku. Pacarnya Diego enggan melirikku,
lebih girang dengan kulit putih.
Disko meledak. Tempo tinggi
menghajar tetamu. Lautan keringat melompat semangat, semakin lama makin
bergairah. Teriakan merong-rong udara. Emily lepas kendali, ia mengecup dada
Diego, pindah ke bibir. Diego jelas tak keberatan. Aku merapat, mengambil,
menarik lengan kurus Emily. Kecupan terlepas. Keduanya melongok lugu.
“C’mon man!” ucap Diego.
Aku menunjuk kepala botaknya. “Punya
lo masih ada!”
Diego menyeringai mabuk, pipinya
merah. Aku menarik tangan Emily, tubuhnya tertarik menyelinap dari himpitan
pecandu pesta.
Emily tertawa. “Lo tuh ngapain?
... Udah ... lo cari juga cewek laen. Gak papa kok ... buat malem ini aja!” Ia
kembali cekikikan, bergoyang lembut mengundangku berdansa.
“Lo gak inget kenapa lo ngajak
gue ke sini!”
Emily melengos. “Ampun DJ!!”
teriaknya ke langit.
Aku mengangkat ketiaknya, menarik
kulit berkeringat, menyusur menyempilkan tubuh, melalui lautan manusia. Aku
berhasil meretas kerumunan itu, membawanya menjauhi pesta pora, menuju pinggir
pantai. Tubuhku berkeringat deras, lengan-lengan kemeja kugulung. Angin deras
menerjang rambut kami. Seputaran kami senyap. Para turis semuanya berkumpul di
pesta. Emily terkikih terus. Mabuk berat, langkahnya lunglai. Aku harus menahan
bahu depannya. Lengan kananku mengambil cincin dari saku kemeja dan menampakkan
cincin mahal itu.
Emily terkikik, mengerutkan
kelopak mata, menatapku. “Bentar ... bentar ... pasti ‘will you marry me’ kan?”
Aku berdecih membuang muka.
Tanganku tergabas mencobloskan cincin di jari manis lenitknya. Ia menolak,
menyimpan tangan.
Emily menyeringai berwajah
mengejek. “Lo dah sinting ya? Emang gue mau nikah ma lo?”
Kepalaku ingin meledak mendengar
itu. Habis-habisan aku dihajarnya hari ini. Dia yang mengajakku ke The Bay Bali
yang spektakuler ini, dia yang mengusirku. Tapak tanganku memeganggi wajahnya.
Aku berbisik pelan. “Kamu tuh cinta gak ma aku?”
Ia mengangguk.
“Trus, mau gak nikah ma aku?”
Ia tertawa dan mengusapi
perutnya. “Aku hamil.” Wajah kocaknya menguap, merambat menjadi murung. Alisnya
merendah dalam, matanya mengerling berkaca. “Diego.”
Aku menghela nafas dalam. Tinju
kerasku menghantam pipinya, kepalanya terjengkang ke samping. Tubuhnya tumbang
terlentang. Lengan kanan kemejaku melorot. Aku mengangkangi tubuh mungilnya
yang terbaring lemas. Aku mencekik lehernya. Leher itu mengejang. Teriakannya
tertahan di tenggorokan. Decakan dahak tersekat. Matanya melotot seakan bakal
meloncat. Urat di lehernya menebal, wajahnya memerah. Nafas dari hidungnya
semaput, terserak-serak memaksa meminta udara. Kesupan nafas perlahan memelan.
Perut kembang kempis lamban. Aku menekan lebih kuat.
“Inikan yang kamu mau?”
Kebahagiaan yang aku mau.
Menghindari kenyataan pelik. Emily tewas di tanganku, mati di tempat dimana
kami pertama bertemu. Aku meninggalkan tubuhnya tergolek, menuju bar di pesta
liar. Membeli sebotol Bacardi Superior
dan sebungkus Malboro.
Perspektif.
German
Shepherd menolak
mengejar frisbee yang dilempar Dua
Sejoli. Anjing itu menggong-gong ke arahku. Ia merapat kencang, injankan empat
kaki sibuknya mengersik pasir leyot. Garis cakrawala menebal. Sinar jingga
terbit juga, memberi permukaan air pantulan lembut, berbintik-bintik kilauan
jernih. Angin tetap ganas. German Shepherd
mendekatiku menyalak garang di dekat kuping. Aku bangkit menggondol Bacardi dan menyalakan satu batang
terakhir Malboro-ku. Aku meninggalkan si Anjing. Ia sibuk memutari bekas
pantatku yang telah duduk berjam-jam.
Aku mendekati garis pantai.
Menjajal air asin dingin. Aku menjangkah berat, perlahan air sudah separuh
badan. Rokokku basah kuyup.
Satu tenggakan terakhir Bacardi 35% alkohol melengkapi kebahagiaan
ambigu.
Aku melempar botol kosong Bacardi ke depan jauh. Menyaksikan sunrise dengan perspektif berpendar dan
visi memudar. Aku menghirup dalam-dalam udara murni pantai The Bay Bali ini.
Tempat dimana aku dan Emily bertemu juga berpisah. Aku teringat saluran
internal di apartemen dan aku melompat masuk ke bawah air. Aku yakin tak lama
lagi German Shepherd dengan endusan
tajamnya, bakal menemukan bangkai Emily yang terkubur satu meter setengah.
Share your happiness with The Bay Bali and get discovered! Kata mereka.
****
Menarik :)
BalasHapusMakasih udah mampir di gubuk saya ... hehehe
BalasHapuspria bertelanjang dada, wanita bertelanjang budaya? .. so cool ~
BalasHapusgood... :) mampir juga yak, http://nelvianti.blogspot.com :)
BalasHapus